islamina.id — Hari Idul Fitri merupakan hari raya besar umat Islam yang dirayakan pada akhir bulan Ramadan sebagai aktualisasi perasaan kemenangan, kegembiraan, dan kesenangan. Kemenangan didapatkan setelah umat Islam menaklukkan hawa nafsunya selama bulan puasa.
Kegembiraan didapatkan bagi mereka yang telah diampuni dosanya. Dan kesenangan didapatkan bagi mereka yang dapat berkumpul dan bersilaturahmi dengan sesama keluarganya.
Dalam perayaan Idul Fitri kali ini, ada suatu hal yang perlu dikaitkan antara konteks sosial bangsa dengan makna Idul Fitri yang selalu berorientasi perdamaian. Beberapa tahun terakhir, beragam kekerasan masih terus mewarnai masyarakat Indonesia baik dalam skala kecil ataupun besar, baik bersifat manifest maupun laten. Kekerasan itu didorong oleh faktor-faktor yang beragam mulai dari persoalan kecemburuan sosial, politik, ekonomi, budaya maupun agama. Pertanyaannya mengapa agama yang selalu mengajarkan perdamaian tetap saja dianggap sebagai bagian dari penuai konflik?
Baru-baru ini, Poso diguncang dengan beragam aksi kekerasan yang ditenggarai ketidakpuasan terhadap hukum mati Tibo cs. Penembakan dan peledakan bom masih terus terjadi. Ketegangan mulai tampak dan jalinan persaudaraan lintas agama yang dirintis sejak lama terancam putus. Apalagi mendekati perayaan Idul Fitri, tentu saja perayaan tersebut akan dihantui dengan perasaan khawatir dan cemas. Kenapa agama masih dipersoalkan? Apabila ada perayaan besar sejumlah daerah yang katanya rawan konflik dijaga ketat. Kenapa lagi-lagi agama dipersoalkan. Atau memang benar agama sumber permasalahannya? Apakah agama indentik dengan kekerasan?
Jawaban klasik dari pertanyaan di atas adalah tidak mungkin agama menjadi faktor konflik karena setiap agama mengajarkan perdamaian. Benar, tapi itu hanyalah cita dan idealitas agama.
Pada faktanya, umat beragama seringkali mengumbar kekerasan yang kadang dimotivasi agama. Pada biasanya umat beragama selalu terprovokasi dengan isu sentimen agama. Dan seringkali karena fanatisme kekerasan menjadi solusi yang mengasyikkan bagi umat beragama.
Memaafkan
Pokok permasalahan bukan pada agama A atau B yang salah, tetapi cara keberagamaan si A atau si B yang kurang benar. Kedangkalan keberagamaan seseroang seringkali dimanfaatkan oleh beberapa pegiat konflik untuk menyulut kekerasan. Seandainya tingkat kedewasaan umat mapan, tentu berbagai kekerasan tidak akan memancing umat beragama melebur dalam sintimen relijius tersebut.
Kedewasaan itu tergantung pengetahuan keagamaan yang dimiliki seseorang. Konflik juga bersumber oleh belum adanya rekonsiliasi antar umat beragama secara berkesinambungan. Berdamai tidaklah cukup tanpa dibarengi sikap untuk melupakan dendam masa lalu, berani memutus konflik masa silam dan siap menantap masa depan yang lebih baik. Kebanyakan konflik adalah koflik warisan yang sampai detik ini belum bisa teratasi.
Maka untuk perdamaian yang permanen tidak cukup dengan dialog-dialog, tetapi rekonsiliasi pascakonflik. Masyarakat diajak untuk memutus kenangan pahit masa lalu dan siap menatap masa depan yang lebih baik. Berkaitan dengan dengan ulasan singkat di atas, Idul Fitri memiliki peran penting dalam melakukan agenda tersebut. Ada satu prinsip yang cukup menarik yang ada di dalam perayaan Idul Fitri yang mestinya dapat diaktualisasikan oleh umat Islam dalam merayakan hari kemenangannya. Prinsip tersebut adalah memaafkan.