Islamina.id – Salah satu hal menarik dari agenda ijtihad Muhammadiyah adalah upayanya dalam menafsirkan ulang Al-Qur’an. Menurut Suara Muhammadiyah edisi 19 tahun 2018, gagasan tentang perlunya Muhammadiyah menyusun tafsir Al-Qur’an telah lama berlangsung yaitu pada 1923.
Pada saat itu, Taman Pustaka, sebuah lembaga khusus di tubuh Muhammadiyah yang bertugas mengurusi masalah perbukuan, penerbitan, dan semacamnya telah mengendalikan tanggung jawab terhadap publikasi Soewara Moehammadijah dan buku-buku agama lainnya. Ide tentang tafsir Al-Qur’an dibutuhkan untuk pengajaran dalam hal membantu para anggota memahami ayat-ayat Al-Qur’an dan tidak sekadar menghafalkannya.
Baca juga: Muhammadiyah dan Gagasan Dasar Berijtihad
Sebagai kelanjutan dari gagasan tersebut, maka muncullah karya tafsir Al-Qur’an dari tangan para tokoh Muhammadiyah. Literatur-literatur tafsir Al-Qur’an itu ada yang ditulis dengan bentuk karya tafsir, tetapi ada pula yang berupa karya-karya di bidang Al-Qur’an dengan menyematkan penafsiran-penafsiran terhadap ayat-ayat yang dikutipnya sesuai tema pembahasan masing-masing.
Muhammadiyah dan Tafsir Al Qur’an
Beberapa karya tafsir yang muncul pun sangat menarik, di mana Muhammadiyah sebagai organisasi reformis membuktikan dirinya sangat dekat dengan budaya Jawa terutama dalam hal nguri-nguri bahasa dan aksara Jawa sebagai media penulisan karya-karyanya.
Tidak hanya karya tafsir atau terjemah Al-Qur’an, buku-buku agama dan majalah-majalah atau serat-serat yang dipublikasikan oleh Muhammadiyah, juga lembaga-lembaga kecil yang dipimpin anggota Muhammadiyah di Yogyakarta, Surakarta, dan daerah-daerah Jawa Tengah lainnya juga ditulis menggunakan bahasa dan aksara Jawa. Sesuatu yang barangkali saat itu dianggap wajar sekaligus sikap kukuh dalam memegang teguh identitas kejawaan.