Orang seperti itu, yang di dalam hatinya ada penyakit yang terus menerus bertambah, pada akhirnya, tidak bisa lagi mendengarkan. Punya telinga, tetapi tidak bisa mendengarkan, punya mata, tetapi pandangannya gelap; segala aturan, etika bisa ditabrak begitu saja; jika kepentingannya terganggu. Maka sikap dan tindakannya pun menjadi semakin aneh, mungkin sebenarnya tidak normal. Daya rusaknya pun semakin besar. Entah di mana nanti tempatnya orang seperti itu. Maka tampaknya perlu selalu memeriksa diri agar bisa terhindar atau bebas dari penyakit hati ini; sebelum merusak diri sendiri dan orang lain atau masyarakat.
Tiba-tiba mengingat dosen saya dulu, Prof. Thariq Syihab, Allah yarhamh (ahli perbandingan agama), di Fakultas Ushuludin, IAIN Syarif Hidayatullah (sekarang UIN). Salah satu dosen favorit, selain keilmuannya yang cukup mendalam sepertinya menjadi encyclopedia berjalan karena sikap dan penampilannya yang keren tinggi besar, necis, dengan dasi kupu-kupu yang selalu bertengger di leher; dengan gaya ngomongnya yang khas betawi banget.
Suatu ketika (kalau tidak salah bulan puasa), dia menjadi kesal di kelas mungkin karena merasa sudah menjelaskan, bolak-balik, detail, masih ada saja tidak paham tentang tema yang diajarkan. Maka ketika seorang mahasiswa bertanya kembali apa yang sudah dijelaskan, beliau spontan berkata, sambil berkacak pinggang : ‘hei Jabrik .. itu yang nempel di kepale .. telinge ape tanduk !’ Maka kelas pun meledak, riuh, penuh derai ketawa dari mahasiswa yang tidak seberapa jumlahnya. Dia sendiri, akhirnya terkekeh.
Prof. Tharik Syihab, tidak secara spesifik bicara tentang ikhlas dan penyakit hati. Beliau tampaknya kesal, sehingga tidak bisa membedakan antara tanduk dan telinga ketika telinga dianggapnya tidak lagi berfungsi dengan baik, entahlah.
Bintaro, Juni 2020 .