Hal ini dapat kita lihat dari beberapa karya para filsuf Eropa, seperti Domica, Albertus Magnus, Thomas Aquinas, Siger, dan lainnya yang kemudian dikenal sebagai Ibn Rusyd-nya latin. Sebagian besar dari mereka menerima Aristotelianisme dari Ibn Rusyd. Aquinas, khususnya, menjadikannya sebagai dasar bagi sebuah sistem teologi dan metafisika yang lengkap. (Akbar S. Ahmed ‘Posmodernisme: Bahaya dan Harapan Bagi Islam’ Penerjemah: M. Sirozi, Mizan: Bandung 1993, Cet. Ke-1, hal. 95)
Baca juga: Hijab Bukan Kewajiban Islam
Itulah puncak krisis yang mendera Islam. Khazanah kultural dan intelektual yang sejak lama menjadi ciri khas Islam, beralih tangan ke dunia Barat. Bahkan Watt–seorang penulis Barat–pernah menulis bahwa sejak abad ke-9 banyak dari generasi muda Eropa tertarik pada puisi Arab, dan lebih tertarik pada bahasa Arab ketimbang bahasa latin.
Melihat kondisi semacam ini, para generasi muda yang mempunyai perhatian besar terhadap Islam, tidak tinggal diam. Mereka berontak dengan melancarkan banyak kritik terhadap orang-orang ‘Orde Baru’ Islam. Maka inilah yang disebut dengan ‘Orde Reformasi’ Islam. Sebuah orde di mana seabrek tokoh-tokoh muda Islam dilahirkan. Mereka semua hendak melakukan reformasi dalam tubuh Islam, dan hendak melaksanakan ‘agenda reformasi’ yang pernah dicanangkan oleh Ibn Rusyd.
Kita masih mengenal siapa itu Rifa’ah Rafi’ al-Thahthawi, Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Muhammad Iqbal, Qasim Amien, Mohammad Arkoun, Muhammad Abid al-Jabiri, Nasr Hamid Abu Zaid, Hasan Hanafi dan sederet cendekiawan Muslim lainnya. Mereka adalah kaum reformis Islam yang merasa tidak puas dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang ‘Orde Baru’ Islam.
Sekarang timbul pertanyaan, kenapa sampai saat ini umat Islam tidak maju-maju? Jawabannya gampang saja. Karena umat Muslim saat ini belum siap untuk melakukan reformasi. Mereka belum memiliki modal berupa potensi yang mumpuni. Sebab ketika masa ‘Orde Baru’ Islam, kebebasan mereka dalam melakukan inovasi terlalu dibatasi dan dipersempit, bahkan dikebiri dengan ditutupnya pintu ijtihad. Sehingga mereka tidak bisa berbuat banyak, kecuali hanya ber-taqlid kepada orang-orang ‘Orde Baru’.
Maka ketika ‘Orde Reformasi’ itu muncul, umat Muslim tidak bisa berbuat apa-apa, mereka tidak memiliki pondasi yang kuat, mereka bingung, tidak tahu harus berbuat apa. Karena dalam keadaan bingung, tidak ada jalan lain kecuali diam saja. Kalaupun berbuat–seperti yang sudah menjadi trend masyarakat Indonesia saat ini–mungkin hanya meniru-niru saja.
Dan yang sangat menyedihkan adalah, bahwa saat ini, di tengah zaman ‘Orde Reformasi’ Islam, ternyata masih banyak orang ‘Orde Baru’ yang berkeliaran. Mereka secara terang-terangan menunjukkan eksistensinya sebagai orang-orang yang masih mempunyai otoritas dalam memonopoli kebenaran. Sehingga ketika ada orang yang tidak sepaham dengan mereka, dianggap keluar dari mainstream, yaitu Islam.