Lebih jauh lagi, menurut Hassan Hanafi, selama ini kaum Muslim begitu yakin bahwa ketakwaan dan kesalehan akan dicapai seseorang jika ia lebih sibuk mengurusi dan membela Tuhan daripada membela kepentingan kemanusiaan yang menderita. Dekat kepada Tuhan acap dibuktikan dengan tidak peduli pada nasib manusia yang dieksploitasi, haknya dirampas, terjadinya ketidakadilan, penderitaan, dan lainnya. Seolah-olah, kesaksian iman kerap diidentikkan dengan perilaku tidak manusiawi.
Padahal Tuhan berkali-kali menyatakan bahwa hanya mereka yang mencintai dan mengasihi sesama manusia, menolong yang lemah, miskin, dan tidak berdaya agar terbebas dari segala penderitaan yang mengitarinyalah yang akan dikasihi, ditolong, dan dekat serta boleh menyatakan diri beriman kepada-Nya. Dalam konteks inilah keberislaman kita perlu ditransformasikan bagi kepentingan umat manusia.
Ambillah contoh zakat. Fungsi utama yang hendak diusung oleh ibadah yang satu ini jelas fungsi sosial, yaitu bagaimana bisa menjawab Problematika kemiskinan yang dialami umat manusia, terutama umat Islam sendiri. Dengan kalimat lain, zakat tidak boleh semata dianggap sebagai Tazqiyatul mal sebagaimana konsep fikih yang selama ini dijadikan pegangan oleh mayoritas umat Islam. Namun fungsi pemberdayaan itulah yang seharusnya didahulukan atau dikedepankan.
Sementara itu, Gus Dur juga menyatakan bahwa; hukum agama (Islam) tidak akan kehilangan kebesarannya dengan memfungsikan dirinya sebagai etika sosial masyarakat. Bahkan, kebesarannya kian memancar dan bersinar terang karena dianggap mampu mengembangkan diri tanpa dukungan masif dari institusi, yang disebut negara. Juga tinggi rendahnya harkat dan martabat seseorang tidak sekadar dinilai atau dilihat dari kesalehan spiritualnya dengan semangat beribadah kepada Allah. Akan tetapi, lebih dari itu, yakni mereka harus peka serta menumbuhkan dan menanamkan sikap empati dalam dirinya untuk mengatasi segala problem sosial yang semakin krusial di tengah masyarakat. Walau begitu, harus tetap berpegang teguh pada prinsip nilai-nilai agama (Islam).
Karena itulah, lanjut Gus Dur, umat Islam tidak boleh acuh terhadap pelbagai kerusakan, diskriminasi, ketidakadilan sosial-ekonomi dan lainnya yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Apalagi sampai melakukan hal serupa. Namun, mereka harus berani dan terlibat secara langsung untuk mengadakan koreksi atas segala tindakan yang dinilai merugikan masyarakat. Sebaliknya, apabila mereka membiarkan maraknya perilaku korupsi besar-besaran dan penindasan dengan menyibukkan diri akan ritus-ritus keagamaan, hanyalah membiarkan keberlangsungan proses pemiskinan serta perusakan bangsa.
Dari sini jelaslah bahwa, Islam bukan sekadar berkutat pada tataran ukhrawi semata dengan memperbanyak ritus-ritus yang bersifat individualistis. Akan tetapi, Islam hadir untuk menyelamatkan umat manusia dari segala praktik dehumanisasi yang dapat merugikan manusia itu sendiri. Atau, meminjam istilah Asghar Ali Engineer, Islam adalah sebagai teologi pembebasan: membebaskan seluruh umat manusia dari pelbagai penindasan untuk menuju orientasi hidup yang lebih membahagiakan dan menyejahterakan. Wallahu A’lam