Ketiga paham tersebut saling berkaitan. Sebab ketiga-tiganya memiliki kesamaan ide yang berasal dari Revolusi Perancis, yaitu menjamin konstitusi, pengadaan lembaga-lembaga negara dan kedaulatan rakyat. Rakyat berhak memberontak pemerintahan despotis yang tidak mengakui kedaulatannya.
Bila pemerintah ternyata melakukan pelanggaran terhadap hak-hak rakyat, maka pemberontakan adalah bagi rakyat dan merupakan bagian dari rakyat. Kedaulatan merupakan hak rakyat paling suci dan merupakan kewajiban yang tidak bisa ditinggalkan.
Komunisme juga ada kaitannya dengan doktrin politik tentang masyarakat tanpa kelas dan perjuangan yang dicetuskan oleh Karl Marx. Kalau memang demikian, apakah kita bersikeras melarang seorang muslim menganut komunisme? Dari sekian doktrin yang disebutkan tadi, saya kira tidak ada yang bertentangan dengan Islam.
Kita tahu siapa itu Hasan Raid dan Achmadi Moestahal, keduanya bisa dikatakan sebagai “Muslim komunis”, dibesarkan di lingkungan beragama yang kemudian condong pada komunisme tanpa meninggalkan keimanan pada agama, sebagaimana yang diceritakan oleh Budiawan dalam buku di atas.
Tak Mudah Mengkaitkan Islam dan Komunisme
Memang tidak mudah mengaitkan Islam dengan komunisme. Kendatipun demikian, tidak sedikit orang berpandangan—termasuk saya sendiri—bahwa Islam sama sekali tidak melarang komunisme.
Dalam kaitannya dengan hal ini, sejumlah prinsip Islam harus diuraikan, ditafsirkan, untuk selanjutnya disimpulkan sehinga ruang teologis terbuka bagi komunisme. Kata komunis yang digunakan untuk memperkenalkan salah satu wacana baru dalam intelektualisme Islam memang mudah menuai kecurigaan, setidaknya, dari kalangan Islam sendiri.
Dari sejumlah kritik, terutama yang bernada sinis, banyak yang lebih terpaku pada kata “komunis” sebagai adjektif dari kata “Islam”. Maka wajar jika Islam komunis begitu mudah diidentikkan dengan “orang komunis” yang tidak beragama dan bermoral bejat, dalam pengertian yang peyoratif. Islam komunis, di kalangan masyarakat Islam, dipahami sebagai pemikiran dan sikap anti agama.
Berbicara mengenai sesuatu yang “haram”, termasuk masalah komunisme, memerlukan kejujuran dan keterbukaan. Kita dituntut melihat permasalahan dengan pikiran jernih, tidak asal main klaim saja. Komunisme jangan hanya direduksi menjadi paham kaum kafir yang menentang agama atau atheisme belaka.
Kalau boleh berpendapat, saya katakan bahwa, pada dasarnya, semua paham yang diklaim sebagai “barang haram”, mulai dari sosialisme, komunisme dan isme-isme yang lainnya bukan tidak ada dalam Islam. Hanya saja Islam mempunyai sebuah prinsip yang senantiasa dipegang teguh, yaitu “khayru al-umûri awsathuhâ” (Sebaik-baiknya perkara adalah yang tengah-tengah, yang sedang-sedang saja). Artinya harus ada balance dalam penerapannya, tidak terlalu condong ke kiri dan tidak pula ke kanan.
Sebab umat Muslim diciptakan sebagai “ummatan wasathan”. “Ummatan wasathan” ini jangan hanya diartikan sebagai umat penengah antara pemeluk agama Kristen, Yahudi dan pemeluk agama lainnya.
Tetapi harus juga pahami, bahwa dalam segala hal, umat Muslim tidak boleh berlebih-lebihan, termasuk di antaranya dalam hal komunisme. Di era demokrasi sekarang ini, saya kira sudah waktunya membicarakan kebenaran dan rekonsiliasi untuk peristiwa 1965.
Masalahnya sekarang, maukah mayoritas masyarakat Muslim memberi jaminan kultural bagi mereka penganut komunisme untuk dapat bergerak bebas. Dalam hal ini, sebenarnya, tergantung bagaimana umat Muslim memahami ajaran Islam apakah doktrin-doktrin teologis dicarikan kesepadanan dengan komunisme atau tidak.
Tetapi yang lebih signifikan dari itu adalah bagaimana kaum komunis diterima sebagai salah satu komunitas dalam masyarakat Islam. Semasa menjadi presiden, Gus Dur pernah mengusulkan agar ketetapan MPRS tentang pelarangan PKI dicabut. Tetapi sayang, bukan hanya kecaman yang menimpa, malah menyeretnya turun dari jabatan.[]