Kemudian, sebagai obyek dari jihad itu adalah orang-orang kafir. Jihad diserukan untuk kuffar. Padahal kata kafir dalam al-Quran mempunyai makna yang ambiguitas. Ia kadang berarti “tidak percaya” sebagai lawan dari kata iman dan juga bisa berarti “tidak berterima kasih” sebagai lawan dari kata “syukur”. (Toshihiko Izutsu, Konsep Etika Religius Dalam al-Quran, hlm 144-145). Nabi pernah bersabda bahwa “aku diperlihatkan neraka (yakni dalam mimpiku), kebanyakan penghuninya wanita di dunia ini mereka kufur. Ditanyakan; apakah mereka tidak percaya pada Tuhan (yakfurna bil-allah)? Nabi menjawab; tidak, artinya bahwa mereka tidak berterima kasih untuk berbuat kebaikan (yakfurna al-ihsan)”.
Oleh karena itu, pengertian kafir tidak semata-mata dimaknai sebagai orang yang tidak percaya pada Tuhan, akan tetapi mempunyai makna yang berkaitan dengan sosial kemasyarakatan. Artinya, sebutan kafir lebih tepat ditujukan kepada orang yang tidak percaya pada Tuhan dan sekaligus tidak berterima kasih pada sesamanya. Aksentuasi dari kata kafir itu adalah Tuhan dan manusia. Orang baru bisa dikatakan beriman jika bisa berhubungan baik dengan Tuhan dan sekaligus dengan sesamanya. Ia tidak melulu berhubungan dengan Tuhan (hablun min al-Allah), tetapi juga berhubungan baik dengan sesama manusia (hablun min Al-nass).
Membangun hubungan harmonis, damai jauh lebih penting maknanya daripada berperang secara fisik dengan sesama manusia. Sebab pada dasarnya agama tidak menghendaki adanya peperangan dan permusuhan. Bahkan hubungan harmonis sesama manusia mendapat nilai lebih dari pada ia membela Tuhan yang transendental dengan memerangi sesamanya, Allah tidak perlu dibela, tidak butuh ibadah manusia. Oleh karena itu, jihad dalam konteks kekinian tidak harus dimaknai berperang secara fisik melawan non-Muslim. Akan tetapi yang lebih penting adalah berperang melawan hawa nafsu yang jahat. Karena hawa nafsulah yang mendorong segala bentuk kejahatan dan kemungkaran. Berjihadlah menghadapi nafsumu sebagaimana engkau berjihad menghadapi musuhmu, sabda Nabi. Ketika pulang dari suatu peperangan Nabi bertitah bahwa “kita kembali dari jihad yang terkecil menuju jihad yang terbesar, yakni jihad melawan hawa nafsu.” Hadist ini menunjukkan bahwa berjihad melawan hawa nafsu jauh lebih berarti daripada berjihad (al-qital) dengan manusia yang dianggap sesat.
Jika jihad tetap dimaknai semula, konfrontasi secara fisik melawan kuffar maka peperangan tidak akan kunjung usai. Agama (baca: Islam) yang seharusnya sebagai problem solver terhadap persoalan yang melilit manusia, jalan keselamatan kepada manusia, justru menjebak ke jurang yang lebih mengerikan. Begitu pula agama Kristen, Hindu, Buddha dan agama lainnya tentu akan mengklaim kafir kepada agama di luar dirinya (other religion) dan juga sebagai implikasi rasional dari adanya truth claim and salvation claim dari masing-masing agama.
Oleh karena itu, merubah performance agama yang sangar, rigid dan menakutkan itu menjadi agama yang progresif-humanis adalah niscaya. Sebab agama idealnya lahir to humanize human being, memanusiakan manusia. Agama dengan visi dan misi profetisnya harus benar-benar diupayakan dan direalisasikan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Sebab jika nilai-nilai luhur dari agama mengendap menjadikan manusia tentram dan damai dalam interaksi sosial. Jika tidak, agama akan kehilangan “makna” di tengah-tengah realitas sosial.
Pemahaman jihad harus sesuai dengan visi kemanusian dan pesan moral al-Qur’an. Islam datang bukan untuk membunuh dan non-Muslim. Nabi sangat menghargai adanya perbedaan yang salah satu bentuknya adalah perbedaan agama. Tanpa adanya reinterpretasi terhadap jihad dan kata kuffar, agama tidak lagi membawa keselamatan dan kebenaran bagi pemeluknya. Bahkan terkadang jihad dijadikan alat provokasi kerusuhan dan pengrusakan. Lantas, ke mana sisi humanisme dari agama? Wallahu ‘a’lam.
Sumber: (Duta Masyarakat, 05 Juli 2002)