Jawaban bagaimana NU dapat bertahan sejauh ini, bahkan menjadi organisasi dengan umat lebih dari 150 juta orang, hampir pasti akan sangat beragam. Semakin kecil dimensi yang dilihat, semakin terbatas jawaban untuk menangkap gambar utuh NU. Sebaliknya, semakin lengkap dimensi yang digunakan sering kali tak dapat menangkap renik dan kedalaman masalah.
Perbedaan itu persis seperti ketika melihat pemandangan dari lantai teratas gedung pencakar langit atau melihat dari balik pintu ruang lobi gedung. Jadi, tergantung tujuan; tergantung dari mana arah bidikan: organisasi, tradisi, nilai dan pandangan, atau dari sudut sumber daya manusia.
Bukan hanya orang luar, orang NU sendiri sering menilai cara-cara orang NU dalam mengelola organisasi kurang profesional. Tetapi anehnya, pesantren-pesantren yang hidup sebelum kemerdekaan Indonesia dapat bertahan dan berkembang hingga sekarang. Dari santri-santri pesantren itu lalu lahir lagi pesantren. Sedang sekolah-sekolah yang dianggap lebih baik manajemen mati dilindas waktu. Bagaimana bisa NU yang dikenal tradisional justru memiliki anak-anak muda yang terdepan di bidang gerakan digital.
Di era 4.0 begini, ada teman NU saya yang bingung ketika diberi uang untuk pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat. “Tidak ada uang saja kita bisa jalan,” katanya enteng saja. Kalau ukuran profesional jika Anda bekerja mendapat honor atau gaji, ukuran ini memang tidak profesional. Tapi, jika profesional ukurannya mencintai pekerjaan sebagai panggilan jiwa, maka teman saya itu sangat profesional. Maka kiai-kiai yang mengabdikan hidupnya untuk umat adalah orang-orang yang profesional dalam pengertian tadi.
Banyak orang luar juga sering merasa bingung, jika NU dinilai dan diklaim moderat, mengapa ada kasus-kasus intoleransi dilakukan orang-orang yang terafiliasi dengan NU. Salah satu jawaban yang mungkin tidak memuaskan adalah karena kadung menganggap NU punya wajah tunggal sembari mengabaikan keragaman di dalamnya. Tapi, ini juga tidak berarti NU tidak memiliki wajah umum sebagai ormas atau tradisi.
Salah satu dimensi yang mungkin bisa digunakan untuk membaca wajah umum NU adalah dimensi kultur organisasi, yang longgar tidak, terlalu ketat juga tidak. Kalau dibilang longgar, setiap pergantian kepemimpinan di tubuh NU hingga tingkat ranting rata-rata melalui mekanisme pemilihan, bukan asal tunjuk.
Baca Juga: Pidato Kiai Said pada Harlah NU ke 95