Memang kalau dibayangkan jalannya pemilihan mirip workshop atau rapat pemegang saham yang rapi bukan pemandangan yang umum. Tapi kalau dibilang ketat sekali juga tidak. Kadang-kadang, keputusan di tingkat wilayah atau cabang bisa berbeda dengan PBNU. Ini belum termasuk sikap pribadi tokoh-tokoh yang jadi pengurus NU ditambah lagi sikap kiai-kiai pesantren. Keragaman ini akan kelihatan dalam momen politik.
Tentu saja pendekatan “longgar-ketat” ini punya kelebihan dan kekurangannya. Kelemahannya mungkin tampak tidak kompak dan membutuhkan usaha untuk menyamakan langkah. Tapi kelebihannya justru saling memperkuat dengan perbedaan dan kelebihan yang dimiliki. Tampaknya, organisasi yang memayungi keragaman itulah yang membuat NU bisa bertahan hingga sekarang. Seperti jarang laba-laba, satu jalur putus, belum tentu merontokkan keseluruhan sarang.
Kemampuan menjaga keragaman ini kelak akan menjadi batu uji NU. Sekali NU dibuat seragam, ia akan kehilangan daya lentur dan daya tahan dalam menghadapi tantangan zaman. Keragaman itu pula yang membuat NU akan lincah dan dinamis. Di era 80-an, kita menyaksikan perkembangan NU dipengaruhi oleh interaksi di antara kalangan yang berorientasi fikih, dengan mereka yang berlatar belakang politisi dan birokrat, dengan aktivis organisasi masyarakat. NU menjadi payung bagi interaksi mereka.
Sekarang dunia tentu saja berubah. Hal yang tak berubah keragaman itu sendiri. Orang NU harus berbangga hati. Anak-anak muda mereka menekuni bidang keilmuan yang “aneh-aneh”. Lihat saja anak santri yang sekolah di luar negeri. Sangat beragam. Dan mereka menjadi penopang NU di tingkat internasional. Tapi, pada saat yang sama, anak-anak muda yang jadi politisi dan birokrat juga tidak kalah banyaknya. Lewat media sosial kita dapat menyaksikan kemampuan tokoh-tokoh dan para santri dalam bidang fikih dan ushul fikih. Lainnya lagi mereka yang menjadi aktivis organisasi masyarakat sipil, dari bidang keagamaan, hingga lingkungan.
Dalam bentangan keragaman itu, NU harus bersikap layaknya kiai: mengayomi dan mendoakan santrinya tanpa pandang bulu. NU tak hanya jadi tempat santri yang menekuni fikih, bukan pula hanya untuk para birokrat dan politisi, tetapi untuk semua. Bukan hanya itu, NU bahkan harus menyediakan ruang agar kelompok-kelompok ini berinteraksi. Dengan cara itu NU bertahan dan berkembang. Dengan cara itu pula NU menyumbang besar bagi bangsa ini.
Selamat Harlah NU ke-95
Kalimulya, 31 Januari 2021
Penulis: Alamsyah M Dja’far