***
Selain itu, membawa cerita Turki Usmani untuk mengglorifikasi ambisi mengenai Khilafah merupakan sesuatu yang konyol. Turki Usmani memang resmi bubar pada 1924 setelah melalui serangkaian proses politik panjang dimana Mustafa Kemal Attaturk menjadi tokoh sentral dalam dinamika tersebut. 2024 nanti jelas menjadi peringatan 100 tahun dari keruntuhan Turki Usmani.
Namun, mengutip kejayaan Turki Usmani hanya untuk memperkuat argumentasi tentang Khilafah adalah juga kekeliruan fatal bila tidak melihat sebab mengapa Usmani bisa runtuh dan dinamika apa yang terjadi setelah keruntuhannya. Menurut Ahmed T. Kuru dalam Islam, Otoritarianisme, dan Ketertinggalan (2021), sebab kemunduran Usmani salah satu faktornya adalah karena para Sultan Usmani di abad 17 tidak menjadikan pengembangan ilmu pengetahuan di berbagai bidang sebagai fokus kebijakan negara.
Para elite Usmani terlalu sibuk mengurusi militer hingga lupa untuk mengembangkan pengetahuan, budaya, seni, dan sejenisnya. Padahal, hal itulah yang sebenarnya membuat Turki Usmani menjadi maju. Kondisi inilah yang menjadi prakondisi keruntuhan Turki Usmani di tahun 1924 kelak, di samping faktor korupsi, degradasi moral, dan misi organisasi para elite pemerintahan yang membuat Turki Utsmani bubar.
Setelah Turki Usmani bubar, di Timur Tengah yang notabene adalah daerah yang menjadi tempat bagaimana Usmani berdiri dan berkembang, justru umat Islam di sana terpecah menjadi beberapa kelompok dalam merespon keruntuhan Utsmani.
Setidaknya ada tiga kelompok yang muncul pasca Usmani runtuh, yakni kelompok nasionalis-sosialis-sekuler yang diwakili oleh Partai Baath di Suriah, kelompok nasionalis-sekuler-modernis yang dicontohkan dengan Republik Turki modern pimpinan Mustafa Kemal Ataturk, dan kelompok Islamis model Ikhwanul Muslimin di Mesir.
Ketiga kelompok di atas menurut KH. Yahya Cholil Staquf dalam PBNU: Perjuangan Besar Nahdlatul Ulama (2020), muncul sebagai respon atas keruntuhan Turki Usmani. Ketiganya sama-sama memiliki visi untuk membuat tatanan baru setelah tatanan yang lama runtuh. Yang membedakan mereka hanya dari sisi ideologi yang menjadi pondasi perjuangan. Tapi secara visi ketiganya sama.
Kondisi ini menyiratkan bahwa di Timur Tengah sendiri terdapat keragaman gagasan yang tidak tunggal dalam konteks menciptakan peradaban baru. Artinya klaim bahwa umat Islam seakan-akan pro terhadap pembentukan Khilafah sebenarnya tidak berdasar.
Faktanya di Indonesia dan Timur Tengah tidak semua pihak setuju dengan Khilafah. Berkaca pada realitas yang demikian, seharusnya kita sadar bahwa yang terpenting dari pembangunan suatu peradaban adalah bagaimana membangun pondasi peradaban itu terlebih dahulu yang berupa ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan kesenian. Setelah ini terbentuk, membangun peradaban model apapun akan mudah dilakukan.
Para pengasong Khilafah macam HTI dan Khilafatul Muslimin tidak melihat kenyataan di atas. Mereka sibuk koar-koar membawa nama Turki Usmani dan berbagai Kekhalifahan Islam lain seakan-akan membentuk Khilafah adalah pekerjaan mudah.
Kalau memang HTI dan Khilafatul Muslimin serius ingin membangkitkan Khilafah Islamiyah, harusnya mereka fokus pada pembangunan kualitas umat Islam itu sendiri. Bukan justru sibuk berteriak-teriak demokrasi haram, Pancasila thaghut, atau nasionalisme tidak ada dalilnya. Kalau hanya itu yang dilakukan, sampai kapanpun Khilafah Islamiyah hanya akan menjadi halusinasi di siang bolong.
Baca Juga: Khilafatul Muslimin Sama Bahayanya Dengan HTI, NII, Bahkan ISIS