KITAB “al-Tawhîd alladzîy Huwa Haqq li Allâh ‘alâ al-‘Abîd” merupakan salah satu kitab utama bagi kelompok yang menamakan diri mereka sebagai Salafi, yang ditulis oleh Muhammad ibn Abdil Wahhab. Kitab ini berisi penjelasan mengenai ajaran-ajaran Allah dan semua utusan-Nya berupa tauhid disertai penjelasan mengenai dalil-dalilnya di dalam al-Qur`an dan hadits, juga penjelasan mengenai hal-hal yang bertentangan dengan tauhid seperti syirik (al-syirk).
Kitab ini terdiri dari 67 bab dengan penjelasan masalah yang cukup ringkas. Dilihat dari urutan bab-nya, Muhammad ibn Abdil Wahhab sepertinya punya aturan tersendiri, ia menggabungkan beberapa bab yang punya kesamaan baik dalam makna maupun hukumnya. Misalnya, pada enam bab pertama ia menjelaskan tentang hukum tauhid dan keutamaannya, kemudian menjelaskan kebalikannya, yaitu syirik. “Dengan menjelaskan kebalikannya, maka segala sesuatu akan menjadi jelas.” Ia juga menjelaskan mengenai pentingnya mendakwahkan tauhid kepada umat Muslim. Enam bab pertama ini menjadi semacam pendahuluan bagi keseluruhan isi kitab, sebuah pendahuluan yang sangat penting sebelum membahas mengenai hal-hal yang bertentangan dengan tauhid.
Pada bab-bab berikutnya ia mengingatkan agar umat manusia tidak terjerumus ke dalam perbuatan-perbuatan syirik, baik syirik besar (al-syirk al-akbar) maupun syirik kecil (al-syirk al-ashghar). Sebagaimana ia mengingatkan manusia untuk tidak bergantung kepada selain Allah, bahwa selain Allah ada hal-hal yang dapat memberikan manfaat dan mudharat, seperti memakai anting-anting atau benang dengan tujuan menolak bala’, memakai jimat atau mantera, meminta berkat kepada pepohonan dan bebatuan, melakukan sesembelihan untuk nadzar, memohon pertolongan kepada selain Allah.
Selanjutnya ia melontarkan bantahan-bantahan kepada orang yang membolehkan untuk bergantung kepada para makhluk. Ia menegaskan bahwa para makhluk tidak kuasa mendatangkan manfaat dan mudharat. Ia juga menjelaskan sebab-sebab terjerumusnya manusia ke dalam syirik besar, di antaranya karena mereka berlebihan-lebihan dalam memuja orang-orang saleh. Ia juga menjelaskan tentang sihir berserta jenis-jenisnya. Ia mengingatkan agar manusia tidak mendatangi para dukun serta peramal dan mempercayai mereka, sebagaimana ia menjelaskan tentang hukum jampi-jampi (untuk mengobati orang sakit/gila), meminta turun hujan dengan ritual-ritual yang menyimpang, dan pesimisme (ramalan buruk/tidak baik).
Kemudian ia berbicara mengenai beberapa aktivitas hati, seperti cinta (al-mahabbah) dan rasa takut (al-khawf). Ia juga berbicara mengenai pengagungan Allah (ta’zhîmullâh), atau kehati-hatian mengenai keyakinan sebagian orang tentang Allah, atau berbagai perkara yang dapat menodai tauhid dan kesempurnaannya.
Hal yang menarik dari kitab ini, dari awal sampai akhir, adalah bahwa Muhammad ibn Abdil Wahhab mengawali pembahasannya dengan menjelaskan sebab-sebab adanya tauhid dan mengakhirinya dengan menjelaskan sebab-sebab hilangnya tauhid.
Kitab ini ditulis oleh Muhammad ibn Abdil Wahhab sebagai bentuk perlawanannya terhadap merebaknya perbuatan-perbuatan syirik dan raibnya pemahaman tauhid yang benar di kalangan umat Muslim. Ia melihat gejala-gejala kesyirikan di kalangan umat Muslim; syirik besar (al-syirk al-akbar), syirik kecil (al-syirik al-ashghar), dan syirik yang samar (al-syirk al-khafîy). Kitab ini dianggap sebagai karya pertama yang ditulisnya.
Para sejarawan muslim berbeda pendapat soal tempat ditulisnya kitab ini, ada dua pendapat: pertama, ditulis di Bashrah, sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Abdurrahman ibn Hasan. Kedua, ditulis di Huraimala’ (Najd) saat ia tinggal di sana, sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Ibn Ghinam. Dua pendapat ini bisa digabungkan, bahwa Muhammad ibn Abdil Wahhab mulai menyusun kitab ini dengan menghimpun dalil-dalil bagi setiap pembahasannya di Bashrah, kemudian ia kembali ke Najd dan menulis kitab ini serta melengkapinya.
Adapun metodenya dalam menulis kitab ini bisa dijabarkan secara ringkas sebagai berikut: (1). Setiap bab diberikan penekanan yang menunjukkan hukum masalah, baik khusus maupun umum. Contoh hukum khusus: “Bab ‘Orang yang Merealisasikan Tauhid akan Masuk Surga”. Contoh hukum umum, “Bab tentang Ruqyah dan Mantera”. (2). Menyebutkan sejumlah ayat, hadits, dan perkataan sahabat Nabi (atsâr) yang menjadi dalil pembahasan di setiap bab; (3). Menyisipkan pada setiap bab beberapa persoalan yang sebenarnya itu merupakan hukum masalah di bab tersebut; (4). Menjadikan sejumlah ayat al-Qur`an sebagai judul bab, misanya “Bab Firman Allah, ‘Apakah mereka mempersekutukan [Allah dengan] berhada-berhala yang tak dapat menciptakan sesuatupun? sedangkan berhala-berhala itu sendiri buatan manusia?”