Kerangka pemikiran Muhammad ibn Abdil Wahhab di dalam kitab ini berangkat dari pemahaman ketauhidan kepada Allah. Ia membagi tauhid menjadi tiga, yaitu: tawhîd al-ulûhîyyah, tawhîd al-rubûbîyyah, tawhîd al-asmâ` wa al-shifât. Tawhîd al-ulûhîyyah adalah tauhid untuk menetapkan bahwa sifat ketuhanan itu hanya milik Allah, dengan penyaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, yang dilahirkan dengan mengucapkan kalimat “Lâ Ilâha Illâllâh” (Tiada Tuhan selain Allah). Selain itu hanya berbakti kepada-Nya saja. Dengan kata lain, kepercayaan bahwa Tuhan yang menciptakan alam ini adalah Allah dan hanya berbakti kepada-Nya.
Sedangkan tawhîd al-rubûbîyyah adalah mentauhidkan Allah dengan amalan dan penyataan yang tegas bahwa Allah adalah Tuhan, Raja, Pencipta semua makhluk. Dan Allah-lah yang mengatur dan mengubah keadaan mereka. Meyakini tawhîd al-rubûbîyyah berarti meyakini kekuasaan Allah dalam mencipta dan mengatur alam semesta, misalnya meyakini bumi dan langit serta isinya diciptakan oleh Allah. Dia-lah yang memberikan rizki, yang mendatangkan badai dan hujan, yang menggerakan bintang-bintang, dll. Adapun tawhîd al-asmâ` wa al-shifât adalah mentauhidkan Allah dengan nama dan sifat yang ditetapkan-Nya bagi Zat-Nya serta menafikan nama dan sifat yang dinafikan-Nya dari Zat-Nya.
Menurut Muhammad ibn Abdil Wahhab, satu-satunya cara untuk menyelamatkan manusia dari kemusyrikan dan kegelapan adalah “memurnikan akidah” dengan kembali kepada al-Qur`an dan sunnah. Ia memandang bahwa tauhid telah dirasuki berbagai hal yang hampir menyamai syirik. Seperti mengunjungi makam para wali, mempersembahkan hadiah dan meyakini bahwa mereka mampu mendatangkan keuntungan atau kesusahan. Seakan-akan Allah sama dengan penguasa dunia yang dapat didekati melalui para tokoh mereka.
Prinsip-prinsip pemurnian akidah Muhammad ibn Abdil Wahhab didasarkan pada ajaran Ibnu Taimiyah dan mazhab Hanbali, yaitu: (1). Ketuhanan Mahaesa yang mutlak; (2). Kembali kepada ajaran Islam sejati, seperti termaktub dalam al-Qur`an dan hadits; (3). Tidak dapat dipisahkannya kepercayaan dari tindakan, seperti shalat dan pemberian amal; (4). Percaya bahwa al-Qur`an itu bukan ciptaan manusia; (5). Kepercayaan terhadap al-Qur`an dan hadits; (6). Percaya akan takdir; (7). Mengutuk segala pandangan dan tindakan yang tidak benar.
Menurutnya, manusia bebas berpikir dalam batas-batas yang telah ditetapkan oleh al-Qur`an dan sunnah. Ia memerangi segala macam bentuk bid’ah dan mengarahkan agar orang beribadah dan berdoa hanya kepada Allah, bukan untuk para wali, ulama, atau kuburan. Jika akidah umat Muslim bersih seperti akidah para pandahulunya yang menjunjung tinggi kalimat “Lâ Ilâha Illâllâh” yang berarti tidak menganggap hal-hal lain sebagai Tuhan selain Allah, tidak takut mati, maka mereka pasti dapat meraih kembali kemuliaan dan kehormatan yang pernah diraih.
Sebenarnya tidak ada yang istimewa dari kitab karya Muhammad ibn Abdil Wahhab ini. Kitab ini menjadi sangat populer karena dalam proses penyebaran ajarannya telah banyak memakan korban. Tak terhitung berapa jumlah umat Muslim yang telah dilenyapkan oleh para pengikut Wahabi, karena dianggap sebagai pelaku bid’ah yang halal darahnya; ribuan orang dari golongan sufi, golongan Asy’ariyah dan golongan Syi’ah yang disembelih. Tak terhitung pula jumlah umat Muslim yang lari meninggalkan Jazirah Arab demi menyelamatkan diri.[1]
Baca Juga: Karakteristik Wahabi-Salafi di Medsos yang Meresahkan
[1] Syaikh Hasan Khadzik, salah seorang guru Madrasah Masri al-Gadidah al-Amiriyah, dalam risalah pendeknya yang bertajuk “Al-Maqâlât al-Wâfiyah fî al-Radd ‘alâ al-Firqah al-Najdîyyîn al-Wahhâbîyyah”, yang dianggap sebagai tulisan yang lezat oleh Syaikh Yusuf al-Dajuwi, salah satu anggota Hay’ah Kibar al-Ulama (Lembaga Persatuan Tokoh Ulama).