Kedua, kemurtadan. Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa orang murtad dari agamanya (Islam) dibunuh. Menurutnya, orang kafir dengan kemurtadan, ketika diminta untuk bertaubat namun ia tidak bertaubat, itu boleh dibunuh, baik ia memerangi atau tidak. Bahkan ia boleh dibunuh meskipun ia termasuk orang-orang yang tidak boleh dibunuh saat perang seperti orang buta, rahib, dan perempuan.[7]
Sang pengarang mengatakan, “Orang-orang murtad wajib dibunuh secara pasti karena tidak kembali kepada sesuatu (agama) yang mereka telah keluar darinya. Tidak boleh membuat perjanjian dengan mereka, tidak boleh menjalin perdamaian (gencatan senjata), tidak boleh memberikan keamanan, tidak boleh melepas siapapun dari mereka yang menjadi tahanan, tidak boleh membayar tebusan kepada mereka, tidak boleh memakan sembelihan mereka, tidak boleh menikahi perempuan dari mereka, tidak boleh mengambil budak dari mereka selama mereka masih tetap murtad berdasarkan kesepakatan umat,[8] orang yang memerangi dari mereka harus dibunuh, juga orang yang tidak memerangi dari mereka seperti orang tua renta dan orang buta menurut kesepakatan ulama, juga perempuan dari mereka menurut mayoritas ulama.”
Ketiga, pembangkangan dan penyimpangan dari kebenaran. Orang-orang yang menyimpang dari kebenaran, membangkang kepada imam, jika menimbulkan kerusakan besar maka boleh dibunuh. Jika mereka bisa dihentikan dengan keadilan, misalnya cukup dengan diberi hukuman yang setimpal atau dipenjara, itu bisa dilakukan tanpa harus membunuh.[9]
Keempat, penyerangan dan perampokan. Orang-orang yang melakukan penyerangan dan perampokan yang membahayakan diri harus diperangi.[10]
Kelima, kelompok Khawarij, yaitu—menurut Ibnu Taimiyah—orang-orang yang membangkang kepada Ali ibn Abi Thalib dan Mua’wiyah ibn Abi Sufyan dengan tuduhan tahkim (arbitrasi). Mereka berkata ‘tidak ada hukum kecuali hukum Allah’, dan keluar dari jama’ah/barisan umat Muslim. Mereka, kelompok Khawarij ini, harus diperangi.[11]
Keenam, mata-mata, yaitu orang yang membocorkan berita suatu kaum kepada kaum lain yang tidak mengetahuinya, atau membocorkan rahasia umat Muslim.[12] Menurut Ibnu Taimiyah, seorang mata-mata muslim, kalau ia bekerja untuk musuh, maka ia harus dibunuh. Ia berkata, “Orang yang kerusakannya tidak bisa dihentikan kecuali dengan dibunuh, seperti orang yang memecah-belah barisan umat Muslim, orang yang mengajak kepada bid’ah dalam agama. Inilah yang dikatakan oleh Malik dan sebagian pengikut Ahmad.”[13]
Baca Juga: Kitab “Majmû’ Fatâwâ” Karya Ibnu Taimiyah (1)
[1] Al-Ba’li, al-Ikhtiyârât al-Fiqhîyyah, hal. 545
[2] Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bârîy (Jilid 5), hal. 279
[3] Hasan Abdurrahman Husain Wahdan, Ahkâm al-Jihâd ‘inda Ibn Taymîyyah wa Tathbiqâtuh al-Mu’âshirah, Yordania: Universitas Yordania, Cet. I, 2006, hal. 57
[4] Ibnu Taimiyah, Majmû’ aFatâwâ (Jilid 11), hal. 11
[5] Al-Ba’li, al-Ikhtiyârât al-Fiqhîyyah, hal. 311
[6] Ibnu Taimiyah, Majmû’ Fatâwâ (Jilid 8), hal. 345
[7] Ibnu Taimiyah, Majmû’ Fatâwâ (Jilid 22), hal. 60
[8] Ibnu Taimiyah, Majmû’ Fatâwâ (Jilid 28), hal. 414
[9] Ibnu Taimiyah, Majmû’ Fatâwâ (Jilid 35), hal. 86
[10] Ibnu Taimiyah, Majmû’ Fatâwâ (Jilid 28), hal. 316
[11] Ibnu Taimiyah, Majmû’ Fatâwâ (Jilid 3), hal. 208
[12] Ibnu Taimiyah, al-Fatâwâ al-Kubrâ (Jilid 4), hal. 662
[13] Ibnu Taimiyah, Majmû’ Fatâwâ (Jilid 28), hal. 108 – 109