Rupanya mentalitas arkaik dengan mengkafirkan dan menghujat orang lain itu tak surut dalam fenomena keberislaman kita kontemporer. Bahkan ia tampak cenderung menaik. Keberislaman Indonesia juga kian terkotori kabut kelam pengkafiran.
Ikhtilaf lazim diartikan sebagai perbedaan, termasuk perbedaan di dalam memahami agama dan menafsirkan kitab suci. Dan Islam adalah salah satu agama yang menghargai perbedaan.
Sebuah pernyataan populer menyebutkan bahwa perbedaan adalah rahmat (ikhtilâf al-a`immah rahmah). Khalifah Umar bin Abdul Aziz pernah berkata, “ma yasurruni lau anna ummata muhammadin lam yakhtalifû (saya senang kalau umat Muhammad berbeda pendapat).”
Indahnya perbedaan pendapat itu menginspirasi Abi Abdillah Muhammad bin Abdirrahman al-Dimasyqi untuk memberi judul bukunya dengan Rahmatul Ummah fiy Ikhtilâf al-A`immah (Keuntungan Umat dari Perbedaan Para Imam).
Namun, lain yang diidealkan lain pula yang dilaksanakan. Perbedaan kerap berakhir dengan kekerasan. Sebagian ulama yang menyampaikan tafsir keagamaan berbeda dipersonanongratakan, dipenjarakan, dipukul, disiksa, dicaci-maki, dan buku-bukunya dibakar. Ibnu Jarir Al-Thabari (w. 310 H./923 M.) menjalani sebagian hidupnya dalam penderitaan karena disiksa oleh pengikut fanatik Ahmad bin Hanbal.
Orang yang mau mengunjungi kediaman Thabari diancam. Buku-bukunya dihanguskan. Kitab tafsir buah karyanya, Jâmi’ al-Bayân fiy Ta`wil al-Qur`an, dianggap sebagai sampah karena dinilai mengandung cerita-cerita israiliyat. Kitab tafsir tersebut lalu dibakar bersamaan dengan buku-bukunya yang lain.
Tak puas sampai di situ, kuburan Thabari pun kerap dilempari kotoran. Namun, kini semua umat Islam tahu bahwa tafsir al-Thabari adalah tafsir yang sahih. Apa yang dahulu dipandang sebagai sampah telah dipandang sebagai sesuatu yang penting.