Islamina.id – Martin van Bruinessen adalah seorang antropolog yang di kalangan masyarakat Indonesia, khususnya NU, sangat tidak asing. Bukunya yang berjudul “Kitab Kuning; Pesantren dan Tarekat” yang merupakan hasil penelitiannya di tahun 80-an sudah sangat dikenal oleh para tokoh pesantren, bahkan mungkin menjadi buku babon yang harus dibaca oleh siapa saja yang melakukan penelitian tentang kitab kuning.
Martin mengawali kiprahnya di Indonesia dengan bekerja di LIPI sebagai konsultan metodologi dalam suatu proyek penelitian mengenai sikap dan pandangan hidup ulama Indonesia. Baginya, proyek LIPI ini adalah suatu kesempatan sangat unik yang tidak pernah diperoleh oleh para peneliti lainnya. Sebagai konsultan ia juga mendapat kesempatan untuk penelitian dalam rangka mendampingi peneliti-peneliti Indonesia. Dan untuk itu, ia mengunjungi hampir seluruh provinsi di Indonesia.
Ketertarikan Martin kepada kajian mengenai kitab kuning berawal dari kedekatannya dengan Djohan Effendi, konsultan proyek di LIPI dan peneliti senior dari Departemen Agama. Djohan memperkenalkannya pada kajian tentang kitab kuning. Saat itu Djohan menulis satu daftar kitab-kitab penting yang pernah dikajinya. Dari sinilah Martin kemudian berpikir dan mulai tertarik untuk melihat apakah ada perbedaan kitab-kitab yang ada di dalam pesantren. Ia berasumsi pesantren ibarat kerajaan, dan karenanya tentu punya budaya tersendiri.
Muncul pertanyaan, apakah melalui kitab-kitab kuning dapat dilihat perbedaan antara suatu daerah dengan daerah lain atau antara pesantren yang eksklusif dengan pesantren yang inklusif? Apakah melalui kitab-kitab itu dapat dilihat terjadinya proses islamisasi Nusantara yang berbeda-beda, misalnya antara di Aceh dengan di Sumatera Utama, dan apakah di setiap daerah mempunyai sejarah yang berbeda? Karena Islam datang dari negara lain atau dari arah lain dan ada beberapa tokoh yang mempunyai pengaruh sangat besar di daerahnya masing-masing; di daerah-daerah itu kadang-kadang ditemukan kitab yang ditulis oleh tokoh lokal, seperti Nafis al-Banjari atau Muhammad Arsyad al-Banjari di Banjarmasin, atau beberapa kiyai Betawi yang sangat terkenal, seperti Kiyai Masri Betawi. Kalau semua kitab kuning yang ada itu dikumpulkan, apakah bisa menyimpulkan tentang perbedaan budaya-budaya itu?
Pertanyaan-pertanyaan itu mendorong Martin mengumpulkan kitab-kitab kuning. Ia datangi seluruh provinsi di Indonesi, dan di setiap kota ia selalu mencari toko kitab dan membeli semua kitab yang berhuruf Arab; bahasanya bisa Arab, Melayu, Jawa, Sunda, Madura, dan Aceh. Dari hasil petualangannya itu terkumpul lebih dari 1000 kitab.
Sekitar 100 tahun lalu ada seorang ahli hukum asal Belanda, yaitu L.W.C. Vandenberg, yang juga mengetahui bahasa Arab dengan baik, pernah menulis artikel pendek mengenai kitab-kitab yang dipakai di pesantren. Ia membuat suatu kesimpulan, setelah mengoleksi sekian banyak kitab kuning, bahwa kitab kuning yang dipakai di pesantren hanyalah kitab fikih. Berdasar tulisan L.W.C. Vandenberg ini, Martin kemudian berpikir, apakah setelah 100 tahun kemudian terjadi pergeseran atau perkembangan? Apakah kitab yang dipakai sekarang berbeda, kajiannya lebih canggih, lebih bervariasi, atau malah ada penurunan? Atau mungkin terjadi satu pergeseran dari satu ilmu keagamaan kepada ilmu yang lain?
Dari 1000 kitab kuning yang dikoleksinya, Martin kemudian membuat klasifikasi. Dan dari klasifikasi ini kesimpulan yang ia dapatkan adalah, bahwa kitab fikih masih mendominasi di pesantren. Tetapi kitab kumpulan hadits dan kitab tafsirnya justru mulai banyak dipelajari di pesantren dibandingkan 100 tahun sebelumnya. Salah satu kesimpulannya, ia berpendapat bahwa gerakan reformis yang menekankan “kembali ke al-Qur`an dan hadits” juga mempunyai dampak di pesantren. Tidak mengherankan jika di pesantren mulai banyak menekankan studi hadits dan tafsir.
Temuannya yang lain, terutama di daerah Jawa, dan ini yang tidak dilihat oleh L.W.C. Vandenberg, namun sangat menonjol, adalah bahwa banyak sekali kitab fikih dari bahasa Arab yang diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa. Kemudian Martin juga menemukan satu kitab fikih dalam bahasa Jawa dengan huruf Honocoroko. Sebelumnya ia menyangka huruf Honocoroko hanya dipakai untuk budaya Jawa non-Islam, atau pra-Islam, atau bahkan yang Kejawen anti-Islam, tetapi ternyata ada kitab ringkasan dari “Tuhfah al-Muhtâj” karya Ibn Hajar yang ditulis dalam bahasa Jawa Honocoroko dan dicetak di Belanda. Sebagai seorang antropolog, Martin curiga barangkali ada usaha untuk mempengaruhi orang Islam supaya lebih menghargai Honocoroko atau upaya mengislamkan orang Jawa yang masih dalam budaya Honocoroko.
Ia juga menemukan hal lain di daerah Sunda. Dalam pengetahuannya, kitab kuning lebih banyak ditulis dalam bahasa Jawa dengan huruf Arab (Arab Pegon). Dan katanya, dari dulu bahasa pengantar di tataran Sunda adalah bahasa Jawa; kalau ada kitab ‘jenggotan’, itu jenggotannya bukan bahasa Sunda tetapi bahasa Jawa. Tetapi dari hasil koleksinya, Martin menemukan beberapa kitab kuning yang ditulis dalam bahasa Sunda. Dan ia menduga ini merupakan sebentuk pemberontakan terhadap tradisi Sunda yang selalu takluk kepada tradisi Jawa.