Setelah selesai dengan upaya mengkoleksi kitab-kitab kuning, langkah yang ia lakukan selanjutnya adalah memahami isi dari semua kitab itu. Dalam hal ini ada dua tokoh yang menurut Martin sangat berjasa baginya. Pertama, adalah Carl Brockelmann, seorang ilmuan asal Jerman, yang menulis buku lima jilid bertajuk “Sejarah Sastra Arab”. Buku ini oleh Martin digunakan untuk memahami hubungan antara satu kitab dengan kitab lain yang terdapat dalam koleksinya.
Dengan buku karya Carl Brockelmann ini Martin menjadi tahu tentang tradisi dalam dunia kitab kuning. Sebut saja, misalnya, tentang syarah atau komentar; ada seorang penulis, kemudian setiap orang yang menyalin merasa punya hak untuk memperbaiki atau menambah, dan kalau tambahannya banyak maka itu bisa disebut syarh. Sebagai salah satu contoh, Martin menyebutkan kitab “Tuhfah al-Muhtâj”.
Di Eropa banyak sekali terdapat naskah “Tuhfah al-Muhtâj”, dan ia melihat banyak sekali syarh terhadap “Tuhfah al-Muhtâj” yang di antaranya diajarkan di beberapa pesantren di Indonesia. Dari sini, Martin kemudian paham mengenai genealogi atau silsilah dari kitab ke kitab. Misalnya kitab fikih; bahwa kitab fikih itu terdiri dari beberapa keluarga atau silsilah, yang semuanya hampir dimulai dengan “Tuhfah al-Muhtâj”.
Kedua, adalah Fuad Sezgin, seorang ilmuwan berkebangsaan Turki yang menulis buku 18 jilid tentang sejarah penulisan berbahasa Arab. Bukunya ini oleh Martin digunakan untuk mengetahui tulisan yang lebih awal, yaitu pada abad ke-1, 2, 3, 4, dan 5 Hijriyah. Namun Martin menekankan, bahwa informasi dari buku ini tidak begitu penting baginya. Sebab ia hanyalah seorang antropolog sekaligus sosiolog yang ingin memahami kitab kuning tidak dari segi pandangan seorang kiyai atau pandangan seorang ahli sastra atau ahli akidah, tetapi melihat sejauh mana kitab kuning yang ada itu mencerminkan kehidupan masyarakat Indonesia. Misalnya kitab “I’ânah al-Thâlibîn” karya al-Malibari, yang di dalamnya terkandung beberapa hal yang bukan dari Arab, tetapi dari India.
Tetapi ada satu kumpulan fatwa dari Syaikh Muda Wali, seorang ulama besar di Aceh, yang banyak mengutip al-Malibari. Di sini Martin melihat, bahwa memang ada kesesuaian antara isi kitab “I’ânah al-Thâlibîn” dengan adat istiadat di Aceh. Dan ini membawa indikasi bahwa antara fikih dan adat ada kesesuaian; satu kitab fikih bisa lebih sesuai dengan suatu adat daripada kitab yang lain. Artinya, menurut pengamatan Martin, tidak semua kitab fikih sama dari sono-nya, tetapi juga mengikuti perkembangan, mengikuti tradisi-budaya masyarakat. Hal ini tidak aneh jika fikih dilihat sebagai sumber pemahaman, karena makna fikih sejatinya adalah pemahaman dan pengertian; kita memahami budaya kita sendiri.
Pandangan Martin yang demikian tidak bisa dilepaskan dari pandangan Muhammad Khalid Mas’ud, seorang ilmuwan besar Pakistan yang melakukan penelitian bertajuk “The Social Production of Syari’ah”, atau “Produksi Sosial Syariat”. Ia mengatakan bahwa syariat, dan terutama pemahaman syariat (fikih), adalah suatu produk sosial—syariat dibentuk masyarakat. Artinya, syariat itu bukanlah suatu produk ilahiyah yang turun dari langit, tetapi merupakan hasil dari proses masyarakat dalam menerapkan wahyu ilahi. Jadi, di sana ada interaksi antara al-Qur`an dan hadits yang diproses dalam kitab fikih yang mencerminkan kondisi-kondisi masyarakat.
Hal itu tentu saja membuat kitab fikih menjadi menarik bagi Martin; bahwa kitab fikih itu adalah kitab yang ditulis pada masa tertentu, oleh orang tertentu, yang hidup di dalam masyarakat tertentu, yang punya persoalan tertentu, dan itu barangkali mempengaruhi sedikit hal-hal mana yang sangat ditekankan. Misalnya masalah “thahârah” (bersuci). Dalam hal ini, antara satu daerah dengan daerah lainnya, sebetulnya tidak terjadi banyak perbedaan. Meskipun mungkin di suatu daerah persediaan airnya sedikit, tetapi para mufti di sana akan menekankan aspek yang lain di dalam “thahârah”.
Demikian juga, lebih-lebih, dalam masalah muamalah. Karena yang paling kontekstual adalah fikih muamalah yang terkait langsung dengan kehidupan sehari-hari. Tetapi sayangnya—berdasarkan koleksi Martin tahun 80-an tentunya—, kitab-kitab fikih yang ada di Indonesia nyaris tidak ada fikih muamalah, yang banyak justru fikih ubudiyah (ibadah). Namun belakangan, menurut Martin, sudah terjadi perkembangan, bahwa pesantren mulai mengkaji fikih muamalah.
Namun ada keluhan lain dari koleksinya di LIPI, bahwa di pesantren tidak ada fikih siyâsah (politik). Padahal siyasah adalah bagian dari tradisi Islam. Apakah karena pesantren tidak mau berpolitik? Kenapa karya-karya al-Mawardi, misalnya, kurang atau bahkan sama sekali tidak diajarkan di pesantren? Ini adalah pertanyaan yang wajar dan layak diajukan. Sebab para kiyai, khususnya belakangan ini, diketahui punya naluri politik yang sangat luar biasa tinggi. Tetapi kenapa politik yang memang merupakan bagian dari tradisi Islam itu tidak diajarkan?