Pembicaraan seputar agama seakan tak pernah habis dari waktu ke waktu. Bahkan selalu menarik untuk diangkat dan didiskusikan ke permukaan sampai kapanpun. Pasalnya, agama dinilai memiliki dua wajah yang satu sama lain saling bertentangan. Di satu pihak, agama menjadi pegangan hidup seluruh umat manusia karena mengajarkan nilai-nilai kebaikan, penjamin keselamatan, cinta-kasih, dan perdamaian. Namun di sisi lain, justru agama sumber, instrumen, penyebab, dan alasan bagi kehancuran serta kemalangan umat manusia. Artinya, karena agama, orang bisa saling mencintai. Tetapi atas nama agama pula, orang bisa saling membunuh dan menghancurkan antara satu sama lain.
Statemen di atas bukan tanpa alasan. Jika ditelisik lebih jauh lagi, beragam kasus yang terjadi, baik di Indonesia maupun dunia pada umumnya dalam satu dekade terakhir acap mengatasnamakan agama. Misalnya, tragedi runtuhnya dua menara kembar World Trade Center (WTC) di New York dan Pentagon di Washington, Amerika Serikat pada 11 September 2001 tahun silam. Di Indonesia sendiri, salah satu tragedi yang menyisakan luka mendalam bagi masyarakat Indonesia secara khusus dan dunia pada umumnya, adalah peristiwa pemboman terhadap tiga gereja, tepatnya di Surabaya pada tahun 2018 lalu. Walaupun, sebelumnya pernah terjadi kasus yang sama di Indonesia.
Tak ayal, jika terdapat sebagian orang berpandangan miring terhadap agama: bahwa agama adalah biang keladi lahirnya gerakan ekstremisme, radikalisme, dan terorisme. Tentu saja, hal ihwal menimbulkan sikap pesimistis, kesedihan, dan kekhawatiran tentang peran agama bagi kesejahteraan dan perdamaian seluruh umat manusia. Berangkat dari fenomena inilah, Charles Kimball menelurkan karyanya tentang agama bertajuk When Religion Becomes Evil yang kemudian diterjemahkan oleh Nurhadi dan Izzuddin Washil berjudul Kala Agama Jadi Bencana yang diterbitkan pada 2013 lalu.
Di dalam buku ini, Kimball mencoba menyuguhkan fakta yang cukup menarik ihwal mengapa setiap ada kekerasan acap mengatasnamakan agama. Bahkan, agama bisa menjadi pemicu konflik horizontal di tengah-tengah umat manusia. Menurut Kimball, problem atau tidaknya suatu agama tidak bergantung pada agama itu sendiri, tetapi agama dalam kaitannya dengan hidup manusia yang nyata. Artinya, manusialah yang menjadi patokan dan menentukan apakah agama itu problem atau bukan.
Karena itu, betapapun luhur dan agungnya ajaran suatu agama dan betapapun mulianya institusinya, semua itu hanyalah pembusukan, apabila agama tersebut nyata-nyata menyebabkan penderitaan bagi manusia dan sesamanya. Namun, lagi-lagi hal ini, bukan disebabkan oleh agama itu sendiri yang menjadi penyebabnya, melainkan manusia pemeluknya. Dari sini tampak bahwa agama memang berpotensi menjelma menjadi kejahatan, tepatnya kejahatan terhadap manusia.
5 Faktor Kekerasan Atas Nama Agama
Lebih jauh lagi, Charles Kimball menyatakan bahwa agama bisa menjelma wajah yang ganas dan jahat terhadap umat manusia disebabkan oleh lima faktor. Pertama, apabila suatu agama mengklaim kebenaran agamanya sebagai kebenaran yang mutlak dan satu-satunya. Bila hal ini terjadi, agama tersebut akan membuat apa saja untuk membenarkan dan mendukung klaim kebenarannya walaupun bertentangan dengan ajaran Tuhan dan nilai-nilai kemanusiaan. Biasanya, klaim kebenaran ini disebabkan karena pemeluk agama bersangkutan yakin bahwa kitab suci mereka memang mengajarkan demikian.
Dalam hal ini, agama tidak lagi peduli bahwa Tuhan sebenarnya “hanyalah” sebutan bahasa manusia tentang Ke-Segala-Maha-an yang tidak bisa ditangkap oleh kemiskinan bahasa manusia. Artinya, klaim kebenaran itu jadi memiskinkan dan mengurangi Tuhan dari Ke-Segala-Maha-an-Nya. Ini sebenarnya adalah korupsi manusia terhadap kekayaan dan hak prerogatif Tuhan. Ironinya, inilah yang menjadi tendensi atau patokan utama untuk meniadakan (melakukan aksi kekerasan) terhadap pemeluk agama lain, dikarenakan mereka dianggap memiliki pengertian tidak benar (salah) tentang Tuhan.
Kedua, adanya ketaatan buta kepada pemimpin suatu keagamaan. Biasanya, corak dari doktrin agama ini; membatasi kebebasan intelek, meniadakan integritas individual para pengikutnya dengan cara menuntut ketaatan buta terhadap para pemimpin karismatik mereka, dan gerakan agamanya acap bertentangan dengan akal sehat manusia. Dengan kalimat lain, mereka hidup dengan amat eksklusif dan memusuhi kelompok di luar mereka; dan menganggap kelompok luar itu sebagai orang-orang yang tidak mau diselamatkan, karena itu mereka boleh dibunuh dan dimusnahkan. Dan akhir dari gerakan semacam ini bisa sangat fatal: bunuh diri secara massal.