Sementara ciri-cirinya adalah: alih-alih membebaskan rakyat dari kejahatan sosial dengan cara menarik dan mengisolasi diri dari khalayak ramai dan membentuk komunitas egaliter, justru keterpurukan dan kesengsaraan yang mereka peroleh dengan memaksa untuk mengamini serta meyakini bahwa pemimpin agama mereka paling benar. Bahkan menganggap sang pemimpin agama memiliki otoritas nyaris menyamai kekuasaan Tuhan.
Ketiga, ketiga agama mulai merindukan dan mencita-citakan zaman ideal, lalu bertekad merealisasikan zaman tersebut ke dalam zaman sekarang. Memang menurut Kimball, agama pada hakikatnya juga merupakan semacam harapan bahwa di masa depan para pemeluknya akan memperoleh dan mengalami sesuatu yang ideal. Namun demikian, zaman ideal itu sangat bertentangan dengan zaman sekarang ketika pemeluk agama hidup pada suatu zaman yang penuh dosa, kesombongan, khayalan, kelalaian, dan kesia-siaan. Sebaliknya, di zaman ideal manusia akan dibebaskan dari semua cacat dan dosa itu dengan mengalami kebahagiaan. Biasanya, doktrin yang disuguhkan adalah mendorong para pemeluknya untuk mendirikan suatu negara-agama, dan negara-teokratis.
Karena itulah menurut Kimball, apabila zaman ideal ini direalisasikan maka berakibat fatal. Lihatlah misalnya, rezim Taliban di Afghanistan yang kejam terhadap warganya sendiri demi ketaatan terhadap syariat Islam sebagai hukum negara; atau ide negara (agama) Yahudi seperti dicetuskan Rabi Mei Kahane yang konsekuensinya harus mengusir warga Arab di daerah Judea dan Samaria; atau kelompok koalisi Kristen Amerika yang didirikan Pendeta Pat Robertson yang ingin mengubah struktur hukum dan negara dalam cahaya Injil.
Keempat, kala agama membenarkan dan membiarkan terjadinya “tujuan yang membenarkan segala cara”. Artinya ajaran-ajaran dalam agama disalahgunakan dengan menjadikannya sarana untuk mencapai tujuan dan meraih tujuan sebagai legitimasi atas segala tindakannya kendati bertentangan dengan ajaran agama dan nilai-nilai kemanusiaan. Dan, dari doktrin agama ini melahirkan sikap eksklusif, permusuhan antar pemeluk agama. Kelima, agama yang kerap menyerukan kepada peperangan. Ambillah contoh bagaimana kekejaman Perang Salib atau aksi terorisme yang terjadi di era modern, seperti yang terjadi pada tragedi 11 September silam, yang memakan demikian banyak korban tak bersalah.
Walau begitu, Charles Kimball tetap yakin, bahwa agama yang autentik pasti akan mengafirmasi kehidupan, melayani manusia dan dunianya. Karena itulah, penting kiranya untuk membaca buah pemikiran Kimball yang dituangkan dalam buku ini agar kita tidak terjebak pada panorama agama seperti yang telah disebutkan di atas. Juga buku ini didasarkan atas pengalaman pribadi Kimball. Sehingga isi dari buku ini benar-benar nyata sebagaimana yang terjadi di tengah-tengah kehidupan umat manusia kiwari. Wallahu A’lam
Baca Juga: Kisah Kelam Kekerasan dan Teror dalam Sejarah Agama Samawi