Untuk memperkuat argumennya, Hamka merujuk pada fakta sejarah tentang kerajaan Islam di Aceh, pada tahun 1641. Ketika raja Iskandar Agoyat meninggal, istrinya kemudian memilih putrinya sebagai pengganti pemegang kerajaan disebabkan raja Iskandar tak memiliki seorang putra. Dan putrinya (yang memimpin tersebut) diberi gelar Sultan Taj’ul Alam Syafiyatuddin Syah. Ia berkuasa selama 34 tahun. Juga tercatat sebagai seorang raja atau pemimpin perempuan pertama di Indonesia.
Sementara KH Husein Muhammad, ketika menafsirkan Surat al-Nisa’ ayat 34, ia memosisikan ayat ini secara kontekstual. Karena, menurutnya, turunnya ayat tersebut turun dalam sistem budaya patriarki, dan secara khusus untuk meminimalisir kekerasan yang akan timbul saat perempuan diperbolehkan membalas tindak kekerasan yang dilakukan suaminya secara setara. Dengan begitu, kepemimpinan laki-laki menjadi solusi kala itu.
Masih menurut Kiai Husein, kepemimpinan laki-laki atas perempuan pada ayat tersebut adalah pemaknaan yang sarat akan muatan sosio-politis. Sehingga, bila suatu saat keadaan mengalami pergeseran, yang disinyalir oleh perubahan kebiasaan, lalu lahir budaya baru, maka pemaknaan ayat tersebut juga harus berubah. Seperti sekarang ini, saat perempuan banyak yang menunjukkan kiprah baik di lingkup rumah tangga maupun publik.
Selain itu, dalam ajaran Islam kedudukan antara laki-laki dan perempuan setara. Artinya, Islam tidak memihak di antara salah satunya. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Quran Surat Al-Hujarat ayat 11, yang artinya: “Wahai manusia, sesungguhnya kami telah menciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan serta menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian adalah orang yang paling bertakwa di sisi Allah”.
Dari ayat ini, secara tidak langsung Allah menyatakan tentang derajat atau kedudukan antara laki-laki dan perempuan adalah sama dalam pandangan Allah. Dan satu-satunya yang membedakan kedudukan manusia di hadapan-Nya adalah tingkat ketakwaan, dan bukan jenis kelamin. Juga, ayat ini menjadi dasar bahwa sejak kedatangannya Islam, merupakan agama yang sangat menjaga serta menghargai harkat dan martabat kaum perempuan; dengan bertolak pada prinsip persaudaraan, kesetaraan, dan keadilan.
Lantas pertanyaan yang muncul kemudian adalah, masihkah kita memandang rendah dan negatif terhadap seorang perempuan, apalagi dalam konteks kiwari? Atau sebaliknya, yakni memosisikan perempuan sebagai mitra bagi kaum laki-laki dalam segala hal apapun? Wallahu A’lam
Baca Juga: Melacak Asal-Usul Budaya Patriarki terhadap Perempuan (1)