Islamina.id – Pasca penyerangan terhadap Markas Besar (Mabes) Polri yang dilakukan oleh pelaku yang masih belia berinisial ZA, banyak sekali bertaburan asumsi, hipotesis bahkan dalam kadar tertentu provokasi di tengah masyarakat. Opini mulai bertebaran dari rekayasa, settingan, konspirasi hingga pernyataan yang seolah ilmiah yang mengatakan ini bagian dari pelanggaran hak asasi manusia.
Penyerangan itu memang tidak jauh waktunya dengan peristiwa bom bunuh diri yang terjadi di Gereja Katedral Makassar. Dua peristiwa teror ini kemudian dipecah seolah yang satu di Makassar memang persoalan terorisme dan peristiwa kedua hanyalah amatiran yang semestinya tidak ditembak mati karena tidak membahayakan.
Dalam tulisan ini saya ingin mengulas komentar dari dua aktivis kawakan, Munarman dan Refly Harun yang memang terkenal kritis dan vocal meskipun terkadang tidak mampu memberikan data hanya berbekal analisis.
Keduanya pada saat setelah kejadian melangsungkan wawancara dadakan yang mencoba membedah peristiwa penyerangan itu dengan berbagai asumsi. Bahkan saat itu belum jelas apakah penembak itu perempuan masih muda, janda atau bisa jadi laki-laki. Namun, atas nama kebebasan berpendapat keduanya ingin hadir memberikan opini yang berbeda atas tafsir kejadian tersebut.
Keduanya baik Munarman dan Refly Harun seolah memang berada dalam satu titik pernyataan yang sama “kenapa begitu mudah nyawa hilang di Republik ini”. Istilah miris, menyedihkan dan berduka dikeluarkan untuk meneguhkan keduanya sebagai pembela nyawa manusia. Sementara mereka juga lupa nyawa-nyawa para korban yang sangat mudah hilang karena aksi terorisme.
Pernyataan tentang mudahnya nyawa hilang bagi pelaku teror di negeri ini, tentu saja harus berbanding dengan pernyataan mudahnya nyawa hilang karena kejadian terorisme. Bagaimana mungkin mereka tidak melihat aksi teror yang menghilangkan banyak nyawa dan tidak ada istilah “nyawa mudah hilang” ketika menanggapi korban terorisme.
Pernyataan begitu mudahnya nyawa hilang untuk para teroris seakan melupakan mudahnya nyawa hilang karena kejadian terorisme. Pernyataan ini seolah memberikan ruang besar bagi teroris atau justifikasi atas tindakan pembunuhan mereka yang seolah korban aksinya bukan nyawa yang berharga. Termasuk nyawa aparat kemananan.
Munarman dengan analisa yang tidak terlalu dibekali data cukup berasumsi bahwa ZA adalah pelaku amatiran. Berbekal dengan rekaman yang banyak beredar ia mengatakan bahwa ZA nampak kebingungan dan tidak menunjukkan tindakan teroris atau penembak professional.
Apa yang salah dari pengamatan yang tendensius ini adalah fenomena hadirnya teroris belia dan amatiran yang hanya berbekal doktrin jihad dan syahid untuk melakukan aksinya. Kasus ZA bukan kali pertama seorang teroris nekat hanya berbekal doktrin ISIS untuk melakukan aksinya.
Kita masih ingat dengan kejadian duo Siska yang nekat berangkat hanya bersenjata gunting ke Mako Brimob untuk membantu para napi terorisme dan ingin menyerang aparat kepolisian. Jika dibandingkan dengan ZA, duo Siska lebih amatiran dalam menyiapkan aksi tetapi mereka sangat percaya diri tanpa persiapan yang professional untuk menjalankan “tugas mulia” membebaskan para napi terorisme.
Jika terjebak hanya melihat tayangan tanpa melihat fakta-fakta lain dari mudahnya anak muda terprovokasi dan terindoktrinasi paham kekerasan terorisme pasti berasumsi amatiran dan tidak layak ditembak mati. Bahkan mungkin lebih sadis itu rekayasa!