Saudara Munarman atau Refly harus pula mengingat peristiwa anak muda dengan inisial IAH yang mengalami radikalisasi diri dengan menyerang salah satu gereja di Medan dengan bom rakitan yang gagal. Itu juga amatiran tetapi semangat dia bukan amatiran dalam melaksanakan aksinya. Dia sangat militan ketika bom yang diranselnya gagal meledak dan memilih mengambil pisau dan menusuk sang pendeta. Bukankah itu amatiran dan tidak professional?
Lalu, pertanyaan kunci yang sangat diandalkan dalam kasus penyerangan ZA adalah apakah pihak aparat keamanan tidak mempunyai cara lain selain membunuh pelaku? Baik Refly Harun dan Munarman mengatakan seharusnya polisi melepaskan tembakan pelumpuhan dengan SOP yang ada bukan langsung menembak mati.
Bahkan Refly dalam Channel Yotubenya pada 2 April 2021 menegaskan bisa jadi ada indikasi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) karena tidak ada korban dari pihak aparat keamanan. Pelaku hanya seorang yang terkena hipnotis dan menembak dengan senjata yang tidak mematikan.
Selain, tidak memahami karakter terorisme dan modus terbaru dari kelompok teroris akhir-akhir ini yang mendoktrin anak-anak muda amatiran bahkan menjadikan perempuan sebagai tameng pengalihan keamanan, keduanya Refly dan Munarman hanya berasumsi pelanggaran HAM terjadi karena kepolisian tidak ada korban.
Baca juga: Islam Melarang Terorisme, Apapun Alasannya
Ketika terjadi penembakan terhadap teroris sekalipun HAM harus dilaksanakan karena ini persoalan adanya nyawa yang hilang. Lalu, bagaimana dengan nyawa para aparat penegak hukum? Lalu bagaimana dengan nyawa korban aksi terorisme yang sangat mudah sekali hilang?
Kenapa polisi harus menembak mati ZA ? Di samping tindakan polisi sudah sesuai SOP, polisi juga harus waspada terhadap segala kemungkinan terburuk, termasuk kemungkinan ZA membawa bom dalam bajunya. Dalam situasi tersebut mengantisipasi hal terburuk harus diperhitungkan dan tindakan semacam itu bukan sekedar kriminal biasa, tetapi aksi teror yang brutal.
UU Terorisme yang baru telah menyediakan ruang bagi aparat keamanan untuk mengantisipasi sejak dini agar peristiwa teror tidak terjadi. Berbagai penangkapan, pelumpuhan bahkan serangan dilakukan semata untuk mencegah peristiwa aksi terorisme terjadi. Karena yang terjadi ketika aksi terorisme beraksi, lalu ada opini nyinyir lainnya aparat kecolongan. Semenatara pelumpuhan dan penembakan mengantisipasi teror harus pula dinyinyirin dengan komentar tanpa berdasarkan data, fakta dan kajian peraturan yang ada.
Tulisan ini tidak berpretensi untuk menafikan HAM dalam konteks penegakan hukum di Indonesia. Namun, masyarakat harus menyadari bahwa bahaya terorisme itu sangat nyata di depan mata bahkan bisa terjadi kapapun dan di manapun. Bayangkan jika kita dan keluarga yang menjadi korban? Apakah anda akan berbicara HAM ketika para teroris yang memakan korban tidak salah itu ditembak mati?
Berbicara dalam konteks berdemokrasi tentu harus dilakukan dengan data dan fakta, tanpa tendensi provokasi dan membuat kebingungan masyarakat. Dalam konteks bernegara ada ancaman serius terhadap keamanan masyarakat, ketahanan nasional dan kedaulatan bangsa yang siapapun warga negara harus mempunyai suara yang sama.
Terorisme musuh negara dan musuh kita bersama. Tidak ada satupun agama yang membenarkan tindakan aksi teror entah professional ataupun amatiran dan entah terorganisir maupun serampangan. Jangan ada celah bagi para teroris untuk membenarkan aksinya dengan adanya dukungan komentar yang bernada tendensius.