Artinya, jika tujuan utama diutusnya Nabi Muhammad adalah untuk menyempurnakan akhlak, maka penyempurnaan itu mustahil akan terealisasi apabila umat Islam sendiri enggan bahkan tidak memiliki sama sekali kesadaran terhadap keadaan sosial yang menimpa suatu masyarakat. Dengan kalimat lain, titik optimal penyempurnaan akhlak ialah dengan penyempurnaan masyarakat yang berakhlak (menciptakan kesejahteraan sosial bagi masyarakat), bukan sebaliknya. Yakni penyempurnaan akhlak pribadi dengan memperbanyak ritus-ritus ibadah bersifat individualistis dan penguatan identitas keagamaan yang hanya berkutat pada ranah halal-haram dan sebagainya. Inilah hakikat akhlak sebenarnya dalam kacamata pemikiran Gus Dur.
Karena itu, menurut Gus Dur, umat Islam tidak boleh acuh terhadap pelbagai kerusakan, diskriminasi, ketidakadilan sosial-ekonomi dan lainnya yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Apalagi sampai melakukan hal serupa. Namun, mereka harus berani dan terlibat secara langsung untuk mengadakan koreksi atas segala tindakan yang dinilai merugikan masyarakat. Sebaliknya, apabila mereka membiarkan maraknya perilaku korupsi besar-besaran dan penindasan dengan menyibukkan diri akan ritus-ritus keagamaan, hanyalah membiarkan keberlangsungan proses pemiskinan serta perusakan bangsa.
Pernyataan ini mengingatkan pada definisi kafir yang disuguhkan Asghar Ali Engineer, seorang intelektual kesohor asal India. Menurutnya, seseorang disebut kafir bukan karena ia tidak beriman atau ingkar terhadap Allah dan rasul-Nya serta ajaran-ajaran dan larangan-larangan-Nya. Tetapi seseorang yang tidak peduli (berperan aktif) terhadap kelompok masyarakat tertindas, mengalami diskriminasi dan ketidakadilan sosial, ekonomi dan lain-lain, adalah dikategorikan sebagai orang kafir.
Bagi Gus Dur, hukum agama tidak akan kehilangan kebesarannya dengan memfungsikan dirinya sebagai etika sosial masyarakat. Bahkan kebesarannya kian memancar dan bersinar terang karena dianggap mampu mengembangkan diri tanpa dukungan masif dari institusi, yang disebut negara. Juga tinggi rendahnya harkat dan martabat seseorang tidak sekadar dinilai atau dilihat dari kesalehan spiritualnya dengan semangat beribadah kepada Allah. Akan tetapi, lebih dari itu, yakni mereka harus peka serta menumbuhkan dan menanamkan sikap empati dalam dirinya untuk mengatasi segala problem sosial yang semakin krusial di tengah masyarakat. Walau begitu, harus tetap berpegang teguh pada prinsip nilai-nilai agama (Islam).