Ajid Thohir menjelaskan bahwa pemahaman yang salah dalam umat Islam Indonesia ialah ketika mereka berislam nya tidak menggunakan konteks keindonesiaan. Jadi, munculnya beberapa kelompok sparatis Islam ialah karena budaya dari tanah padang pasir dibawa masuk ke Indonesia yang sama sekali budaya itu berbeda dengan Indonesia. Sehingga yang terjadi pemahaman keras terhadap Islam, tidak inklusif, kurang luwes dan tidak adanya keharmonisan dalam menerima perbedaan. Sehingga yang terjadi hanyalah hujah dalil kebencian, mana yang benar dan mana yang salah.
Abdurrahman Wahid kalau menjelaskan Islam itu gampang ajarkan agama itu dengan bahasa mu. Artinya Islam itu bukan Arabisme atau hanya milik tanah Arab, melainkan membentang jauh melintas batas hingga ke penjuru dunia. Kemudian Gus Dur melanjutkan bahwa orang yang banyak dalil untuk menjelaskan agama Islam ialah mereka yang tidak mampu bagaimana menyampaikan Islam dengan bahasanya sendiri, bahasa yang mudah dipahami, bukan yang mempersulit.
Terpetakkannya umat Islam dengan munculnya kelompok-kelompok Islam sparatis, ini mengancam demokrasi dan persatuan Indonesia. Kelompok Islam seperti ini, mereka secara berislamnya sudah pada tahap yang mumpuni. Mungkin, karena semangat berislam, tidak terbarengi dengan melihat realitas keislaman di lokal, maka hanya gebrakan-gebrakan sparatis radikal lah yang digaungkan. Ceramah dengan dalih sebagai menyuarakan Islam yang indah, namun, kadangkala terselubung niat lain tentang saling membenturkan antarumat Islam lainnya. sehingga banyak kemudian berdiri kelompok-kelompok Islam jihadis yang tujuannya bom sana sini—ini kelompok memperjuangkan khilafah dengan cara fisik. Berdirinya lembaga-lembaga di wilayah kampus umum, membentuk daulat perpolitikkan, yang sehingga mereka memforum dan mendirikan sebuah gerakan politik bahkan muncul hingga menjadi gerakan nasional—ini kelompok yang memperjuangkan khilafah dengan aliansi lembaga, politik. Yang kemudian muncul kelompok Islam-fundamentalis.
Yang tergabung dalam kelompok ini ialah mereka tidak memahami konsepsi berislam yang bisa menumbuhkan rasa cinta terhadap negara, mengakui dan menghargai umat agama lain dan kelompok Islam lain. Sehingga kemudian perlu untuk memahami perjuangan sejarah berdirinya negara Indonesia ini. Bagaimana cara berislam mereka dengan indah, berbeda partai, golongan, mazhab, bukan halangan dan rintangan dalam membangun hidup rukun satu wadah, meski beda warna. Bukan kemudian ingin hidup semena-mena, ingin mendirikan sistem pemerintahan yang tidak relevan dengan kondisi negara. Itu sebenarnya tidak menunjukkan ruh-ruh keislaman yang indah dan harmonis dalam merepresentasikan Islam dalam sehari-hari.
Dalam hemat penulis, jadilah Muslim yang Indonesiais, jangan karena Islam dari Arab kita sebagai bangsa Indonesia meniru-niru budaya Arab, baik berbusana, cara bicara, dan kebudayaan lainnya. Bukan juga menjadi kelompok-kelompok Islam yang terpetakkan dengan adanya strukturalitas. Penyudutan dan pelabelan tersebut akan berdampak pada sebuah sepak terjang sebagai Muslim yang tidak mendapatkan tempat sebagai penyebar Islam yang indah. Namun, jadilah Muslim Indonesia, dengan mengakui akan sebuah keragaman, mengakui keberadaan, dan mengakui akan realitas multikulturalitas masyarakat yang memang heterogen ini.
Hidup dengan penuh keberagaman ini harus bisa disiasati layaknya konsensus perdamaian pertama yakni Piagam Madinah. Jangan jadi Muslim karena Arab, India, dan lainnya, jadilah Muslim Indonesia. Juga jangan karena adanya kelompok-kelompok Islam, bingung dalam menentukan identitas kekelompokkan kita, jangan. Tapi, jadilah Islam Indonesia yang memang dengan konteks keindonesiaan, bukan karena batasan-batasan kelompok keislaman. Bukan juga karena terpetakkan karena suku, etnis, budaya yang sehingga membuat cara berislam kita pun terbatas, jangan. Akhirnya, bahwa hadirnya Islam di Indonesia harus bisa menjalankan hidup dalam kebersamaan, kedamaian, jangan mencari perbedaan tapi carilah persamaan akan makna keindahan.