“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” [Q.S. Ali ‘Imrān: 159]
Dari dua ayat Alquran diatas, seorang Muslim yang taat atau menjalankan perintah Allah SWT. yaitu dengan menjadi rahmat untuk saling mengasihi atau berbuat kebaikan. Adapun ketika bersikap keras atau kasar, sudah pasti akan dijauhi dan tidak disukai. Lalu, apakah pelaku teror tidak membaca dan mengimplementasikan perintah Allah pada dua ayat tersebut?
Untuk menjawab pertanyaan itu, perlu kita membaca kondisi psikis pelaku teror terlebih dahulu. Rena Latifa dalam Jurnal Psikologika membagi empat ciri kepribadian pelaku teror, diantaranya: [1] mental ‘perusak’ dan ‘sakit’, [2] memiliki emosi tidak stabil, [3] inferioritas (rendah diri yang kompleks), dan [4] mempunyai motif balas dendam (Latifa, 2012). Kondisi psikis teroris diketahui minim kemampuan dalam mengendalikan impuls agresi, tak memiliki empati kepada para korbannya, mental dan cara berpikir sangat fanatik ideologi tertentu, dan serta cara pandang yang utopis (De la Corte, 2006). Namun demikian, belum ada kejelasan apakah kepribadian tersebut merupakan karakter yang telah ada sejak kecil atau karakter itu terbentuk oleh pengalaman hidupnya sampai ia menjadi seorang teroris.
Penelitian yang dilakukan oleh Sageman pada pelaku teroris al- Qaeda, menggambarkan pola interaksi pemuda Muslim dengan kelompok jihadis bisa membuatnya memiliki pemahaman radikal. Bentuk-bentuk indoktrinasinya dengan membangun mental yang memiliki komitmen tinggi terhadap organisasi dan mempersiapkan mereka untuk terlibat pada ‘criminal activity‘ (Sageman, 2004). Tentunya, hal tersebut sangat membahayakan orang lain. Ada suatu keberanian yang sangat besar dalam diri calon atau pelaku teror.
Dalam tahap itu, seharusnya seorang anak atau pemuda Muslim — melalui orang tua dan kerabat — mampu memilah guru atau pendidik yang berwawasan visioner seperti Nabi Muhammad SAW. Kemudian memiliki pemahaman wasaṭiyyah (moderat) dalam menjelaskan pemahaman agama. Kondisi mental pelaku teror jauh dari visioner dan wasaṭiyyah, sehingga kemungkinan bukan termasuk bagian dari Islam lagi, melainkan masuk kategori murtad.
Baca Juga: Mencegah Ekstremisme dan Terorisme
Referensi:
Edward Newman. “Exploring the ‘root causes’ of terrorism.” Studies in Conflict and Terrorism. Vol. 29. (2006).
Gordon. W. Allport. The Nature of Prejudice. (Boston: The Beacon Press, 1954).
Luis de la Corte. “Explaining Terrorism: A Psychosocial Approach.” Perspectives on Terrorism. Journal of The Terrorism Research Initiative. Vol 1, No 2 (2007).
Rena Latifa. “Penanganan Terorisme: Perspektif Psikologi.” Jurnal Psikologika, Vol. 17, No.2 (2012).