Di situasi pandemic covid 19 ini, semua energi kita habis terkurang untuk membincangkan virus corona ini dari perspektif kesehatan dan dampak ekonomi. Laporan harian Gugus Covid 19 terus melaporkan secara rutin jumlah korban yang meninggal, jumlah yang positif tertular, yang sembuh dan sejenisnya. Pejabat negara dan pemerhati ekonomi berfokus penuh untuk menyelamatkan ekonomi Indonesia yang berada di ujung tanduk.
Hal tersebut tampak lumrah dan wajar saja, mengingat dampak covid 19 ini lebih kasat mata kepada dua bidang tersebut. Namun, yang luput dicermati adalah bahwa covid 19 ini juga memaksa menterjadikan sejumlah perubahan, mulai dari aspek pendidikan sampai pada relasi sosial-keagamaan. Termasuk dalam dua bidang tersebut, covid 19 ini berpotensi makin menambah daftar (maha)siswa yang rutin mengonsumsi paham-paham keislaman yang tidak ramah: radikal.
Kegagapan Pendidik
Dalam bidang pendidikan, semua lembaga pendidikan dipaksa untuk menghentikan pembelajaran tatap muka di kelas, diganti dengan pembelajaran jarak jauh atau pembelajaran dalam jaringan (daring, online learning). Tentu saja, sebagian besar lembaga pendidikan kita tidak siap. Tidak sedikit guru/dosen bengong apa yang harus dilakukan ketika diminta untuk menerapkan pembelajaran daring. Siswa/mahasiswa pun mengeluh betapa tugas yang datang dari dosen datang bertubi-tubi.
Ketidaksiapan lembaga pendidikan tersebut dipicu oleh dua hal utama; infrastruktur dan sumber daya manusia. Infrastruktur Indonesia untuk menyelenggarakan pembelajaran berbasis internet tersebut jelas jauh dari memadai. Alih-alih jaringan internet/data, tidak semua wilayah Indonesia memiliki jaringan telepon (signal).
Begitu juga, kompetensi sumber daya manusia untuk menyelenggarakan pembelajaran daring masih jauh dari kata cukup. Boro-boro meminta pada guru/dosen langsung bergerak membuka Learning Management System (LMS) seperti Canvas, Schoology, Google Classroom, dan sebagainya, membuat email saja adalah pekerjaan yang dapat mengucurkan keringat.
Termasuk, dan bahkan yang sangat berkeringat di sini adalah guru/dosen agama Islam. Pasalnya, mereka memiliki cita-cita mulia. Mereka tidak ingin menempatkan pendidikan sebagai transfer pengetahuan (kognisi) semata, tetapi tetapi juga harus mencakup aspek afektif dan psikomotorik yang lebih banyak ditampilkan melalui keteladanan. Di sisi lain, keterampilan teknis terkait dengan teknologi cukup lemah.
Atas situasi ini, tentu saja, pengambil kebijakan tidak bisa gebyah uyah dengan asal meminta para pendidiknya untuk melakukan pembelajaran online tanpa dibekali dengan infrastruktur dan fasilitas yang memadai serta peningkatan keterampilan teknologis. Dua hal ini tentu sangat mungkin dan perlu dilakukan demi memastikan pemenuhan hak belajar mahasiswa.
Potensi Radikalisme
Dampak lain yang tak kasat mata dari pandemi covid 19 ini adalah potensi merebaknya paham radikalisme di lembaga pendidikan. Sekurang-kurangnya ada tiga alasan yang mendasari hipotesis ini. Pertama, meningkatnya penggunaan internet selama covid 19 yang berarti potensi penyebaran paham intoleransi dan radikalisme makin terbuka lebar. Kominfo menyebutkan bahwa selama pandemi ini ada kenaikan traffic data dan suara naik antara 5-10%. Sementara Telkom mengalami peningkatan traffic penggunaan internet selama pandemi ini sebesar 15,6%.