Laporan We Are Sosial menyebutkan bahwa pada Januari 2020 ada 175,4 juta (64%) dari total populasi yang berjumlah 272,1 juta yang memiliki akses terhadap internet. Dari data itu, ada 160 juta pengguna media sosial. Mereka rata-rata menghabiskan waktu selama 6 jam 43 menit setiap harinya untuk mengakses internet, yang sepertiganya (2 jam 24 menit, setara dengan 3 SKS mata kuliah) digunakan untuk mengakses media sosial.
Dan sejumah kajian telah menunjukkan bahwa internet merupakan media efektif yang berpengaruh signifikan terhadap penyebaran radikalisme dan intoleransi (Ghifari, 2017). Bahkan, indoktrinasi radikalisme juga dapat ditempuh melalui jalur internet. Artikel “Jihad Trending: A Comprehensive Analysis of Online Extremism and how to counter it” Ghaffar Hussain dan Erin Marie Saltman (2014) menulis “the majority of radicalized individuals come into contact with extremists’ ideology through offline socialization prior to being further indoctrinated online”.
Dan kita tahu, bahwa siswa dan mahasiswa Indonesia tak sepenuhnya aman dari virus intoleransi dan radikalisme ini. Survey PPIM dan Convey tahun 2017 menemukan bahwa siswa/mahasiswa cenderung memiliki pandangan keagamaan yang intoleran. Dengan menggunakan 3 kategori, survey ini menemukan bahwa pandangan keagamaan siswa yang paling intoleran terdapat pada opini radikal (58.5%) disusul opini intoleransi internal (51.1%) dan opini intoleransi eksternal (34.3%).
Dengan demikian, tingginya akses terhadap internet selama masa covid 19 ini memberikan potensi yang sangat kuat akan terjadinya penyebaran intoleransi dan radikalisme melalui jalur internet. Semakin mengkhawatirkan karena media sosial kita masih dipenuhi dengan paham-paham yang mendorong pandangan intoleran dan radikal.
Kedua, selama masa covid 19 ini interaksi langsung guru/dosen yang maha/siswa berkurang drastis, karena digantikan dengan interaksi online. Apa dampaknya? Tentunya, kontrol dan pengawasan sekolah/kampus dan guru/dosen terhadap maha/siswanya berkurang sangat drastis. Fungsi Guru/dosen sebagai tempat bertanya dan konfirmasi pun akan berkurang. Maha/siswa cenderung akan berselancar sendiri melalui media sosial yang diaksesnya untuk mendapatkan jawaban atas kegalauan dan pertanyaan yang dihadapinya.
Kondisi ini semakin menggerus peran guru/dosen sebagai pihak yang memiliki otoritas di bidang agama. Bagaimana bisa dapat bertanya dan mengajukan kebingungan kepada dosen/guru, jarak antar keduanya makin merenggang.
Ketiga, para militant teroris seperti ISIS akan menjadikan pandemi covid 19 ini sebagai momentum untuk melakukan perekrutan, karena negara dalam posisi lemah baik secara ekonomi dan politik. Fokus pemerintah selama covid 19 ini habis terkuras untuk menangani dampak kesehatan dan ekonomi. Di situasi ini, perekrutan bisa dijalankan secara serentak; melalui jalur online dan offline.
Lalu lintas orang di dunia maya selama covid 19 ini begitu ramai, sehingga dengan memanfaatkan kerumunan pengguna internet, gagasan-gagasan radikalisme dapat disebar secara masif. Pemerintah memang telah mengeluarkan kebijakan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) yang menjadikan ruang gerak seseorang (hanya) terbatas. Akibatnya, “stay at home” merupakan kesempatan untuk melakukan indoktrinasi calon-calon teroris di rumah-rumah yang telah ditentukan.
***
Lalu, apa yang bisa kita dilakukan menghadapi situasi ini? Tunggu kelanjutan tulisan ini.