****
Jika demikian, adalah tugas kita semua untuk merubah keberpihakan agama dari yang elitis, penguasa kepada kaum tertindas, miskin dan terlantar. Sebab, jika agama dibiarkan menjadi alat bagi penguasa, fungsi dan tujuan agama untuk membebaskan manusia dari ketertindasannya akan hilang.
Ditangan penguasa, agama akan dijadikan alat legitimasi untuk menindas dan mendistorsi teks agama menjadi sebuah teks yang “tunduk” terhadapnya. Dalam posisi inilah, benar ungkapan Nietzsche (1844-1900 M ) tentang kematian tuhan, Karl Max tentang Tuhan telah mati, Jeal Paul Sartre (1905-1980) dengan L’esistence de L’homme exclet L’existence de dio (eksistensi manusia meniadakan eksistensi Tuhan).
Jika demikian, maka membangun agama kerakyatan menjadi suatu kebutuhan yang tidak bisa ditawar-ditawar. Ada dua asumsi atau pengerti tentang agama kerakyatan disini. Pertama, agama kerakyatan adalah agama yang berpihak pada rakyat.
Manusia secara umum (awam) harus menjadi perhatian dan fokus bagi agama. Sebab, ia turun tidak hanya bagi kalangan elit semata, tetapi jug bagi manusia secara umum. Hal ini penting sebagai upaya memilimalisasi adanya “pencomotan” (teks) agama oleh kalangan elit baik oleh negara ataupun elit agama.
Melalui agama kerakyatan inilah, kita berseru dan berteriak untuk membela rakyat dan menolak segala bentuk politisasi agama. Agama tidak hanya ditempatkan pada ibadah-ibadah di Mesjid, tetapi juga mensyaratkan adanya ibadah sosial. Kemiskinan, pengangguran, penggusuran, eksploitasi, kekerasan terhadap anak Adam harus ditolak sebagai upaya membangun kehidupan yang harmonis.
Kedua, agama kerakyatan adalah sebuah formulasi agama yang berada dalam pemahaman kaum awam. Pengertian yang kedua ini berusaha untuk mengurangi adanya dominasi pemahaman (agama) elit terhadap umatnya. Di Indonesia, sebuah pemahaman yang keluar dari mind set elit agamawan, akan diklaim sebagai penyimpangan. Akibatnya, tidak ada independensi pemahaman ditingkat manusia. Semua pemahaman agama diserahkan pada kaum elit (kiai, pastur dan sebagainya). Padahal, semua orang memiliki persepsi yang berbeda-beda tentang agama yang dipeluknya sesuai dengan pengalaman keagamaan (religious experients) yang bersifat subyektif-psikologis.
Hal inilah yang menyebabkan mandulnya kreativitas manusia beragama dalam menentukan pilihan dan pemahaman terhadap agamanya. Ijtihad dan keberanian berfikir bebas seakan menjadi ancaman bagi kaum elit agama. Apapun hasil pemahaman dan ijtihad manusia adalah absah sebab ia dilahirkan dalam locus dan tempus tertentu, sehingga problem yang dihadapi masing-masing individulpun berbeda.
Pada kedua pemahaman itulah, agama kerakyatan disandarkan sebagai upaya menghadirkan agama secara proporsional dan fungsional di tengah realitas sosial. Dan, Kepada kaum tertindaslah agama harus berpihak diatas prinsip kemanusiaan. Wallahu A’lam