Kebhinekaan Tradisi Beragama
Dari semua itu, sumbangan penting dari metode dakwah para wali dan ulama di masa dahulu adalah model keberagamaan yang plural, terbuka, dan toleran, terhadap peradaban Islam Nusantara yang sangat besar. Bahkan bisa dikatakan, ketiga sikap beragama ini merupakan pilar kebudayaan santri di Indonesia. Berlandaskan prinsip pluralitas, keterbukaan, dan toleransi, Indonesia mampu membentuk paham ke-Islaman yang sangat kaya, yang tidak hanya terbatas pada model keberagamaan yang ada di Timur Tengah.
Dalam bidang ilmu kalam dan tasawuf yang menjadi arena para pujangga, filosof, dan sastrawan, telah lahir karya-karya monumental. Misalnya, Asrar al-Arifin (Hamzah Fansuri), Serat Dewa Ruci (Sunan Kalijaga), atau Wirid Hidayat Jati karya Ranggawarsita. Pada kajian moral muncul Kitab Wulangreh hasil pikiran Paku Buwana IV dan Kitab Centhini (Paku Buwono V).
Islam Nusantara juga mempunyai sejarah panjang dalam pemikiran hukum Islam (fiqh). Ada Kitab Cebolek karya Yasadipura I yang berisikan kritik terhadap model keberagamaan sufistik. Di Aceh Bustan as-Salatin (ar-Raniri) yang mengeritik mistisisme (tasawuf falsafi) Hamzah Fansuri. Pemikir besar lain cukup banyak, seperti Syeikh Yusuf al-Makassari dengan karya al-Nafhah al-Saylaniyyah, Zubdat al-Asrar dan Habi al-Warid; Syeikh Nawawi al-Bantani yang menghasilkan lebih dari seratur karya akademik; atau Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari dengan Sabilal Muhtadin li Tafaqquh fi Amriddin. Para ulama kemudian juga memimpin pusat-pusat keilmuan Islam (yang dewasa ini kita kenal dengan pondok pesantren) di berbagai tempat, khazanah intelektual di bidang ini sungguh luar biasa.
Kekayaan Islam Indonesia dapat ditelusuri lebih jauh melalui aspek kebudayaan yang lain, yaitu budaya material, khususnya seni. Setiap suku memproduksi dan setiap generasi melahirkan kreasi-kreasi keagamaan yang berwajah lokal nasional. Seni sastra dan musik dapat dengan mudah dijumpai dimana-mana. Hampir semua suku di Indonesia mempunyai syair-syair pujian dengan bahasa lokal yang dibawakan sebagai nyanyian atau diiringi musik.
Di lingkungan masyarakat santri di Jawa dan Sunda, mereka mengenal syair keagamaan yang disusun melalui ritme sastra lama, seperti asmaradana, pangkur, dan dandang gula. Di wilayah Melayu sastra keagamaan merupakan nafas seni setempat, di mana para ulama, pangampu tradisi, filosof, dan cendekiawan memberikan kontribusi sangat besar. Sastra keagamaan juga mudah ditemukan di Lombok, Kalimantan, Sulawesi, dan daerah lain. Pasca kemerdekaan, kreativitas masyarakat santri dalam memajukan kebudayaan semakin intensif. Berbagai genre musik relijius berkembang pesat, tidak terbatas pada qasidah, gambus, rebana, dan barzanji.
Seni kaligrafi juga menyebar luas di berbagai kalangan, dan bahkan menjadi hiasan di masjid, rumah, bahkan warung makan. Belakangan Indonesia juga sudah menjadi pusat fashion Muslim dunia dengan kemampuan mengekspor ke berbagai negara Islam. Pada tataran intelektual, para ulama dan cendekiawan dari berbagai aliran semakin produktif berkontribusi terhadap persoalan-persoalan sosial-keagamaan: ekonomi, politik, pendidikan, budaya, sains, di samping teologi, sufisme dan fiqh.
Karakter keagamaan yang plural, terbuka, dan toleran ini membuat Islam Indonesia memiliki ciri sendiri yang berbeda dari masyarakat Muslim lain. Semua aliran yang ada diikat oleh identitas dan prinsip-prinsip ketuhanan yang sama, tetapi masing-masing menampilkan corak keberagamaan yang berbeda-beda. Peradaban Islam Indonesia lebih merupakan mozaik, perpaduan agung, yang masing-masing elemennya berinteraksi satu sama lain dalam aktivitas pengembangan makna keberagamaan. Sesuai karakter dasarnya, Islam Indonesia bersifat dinamis karena tidak berwajah tunggal dan selalu terbuka.
Dewasa ini, kita dihadapkan pada tantangan munculnya sebagian kalangan yang mempertentangkan apakah tradisi tertentu sesuai dengan Islam atau tidak. Akibatnya, kelompok ini suka menghakimi suatu tradisi dengan vonis sesat, syirik, bid’ah bahkan kafir. Sekedar contoh, tradisi masyarakat yang membaca al-Qur’an, sholawat serta bacaan tahmid, tahlil, tasbih dan istighfar yang oleh masyarakat Indonesia sebut sebagai tahlilan, sering dianggap sesat dan bid’ah.
Pengkafiran, dan tuduhan sesat terhadap tradisi-tradisi tersebut akan menjadi hambatan serius bagi kemajuan kebudayaan di Indonesia. Karena itulah, saya mengajak para hadirin semua dan seluruh bangsa Indonesia untuk bersama-sama mengembangkan kebudayaan Islam Indonesia, budaya santri.
وَإِنَّمَا الأُمَمُ الأَخْلَاقُ مَا بَقِيَتْ فَإِنْ هُمْ ذَهَبَتْ أَخْلَاقُهُمْ ذَهَبُوْا
Artinya, “Sebuah bangsa akan lestari, langgeng, dan abadi karena ketinggian peradaban dan kebudayaannya. Ketika kebudayaan dan peradaban mereka dekaden, maka bangsa itu akan lenyap dan sirna.”
Tantangan Politisasi Agama
Dilandasi oleh warisan-warisan dari proses kultural Islamisasi inilah, dan sumbangan kepemimpinan para pemimpin Islam di masa lalu, keputusan KH. Hasyim Asy’ari untuk mempertahankan nasionalisme Indonesia di masa-masa krusial kemerdekaan, bagi masyarakat santri merupakan keputusan yang tepat. Karena dari momen ketetapan Resolusi Jihad itulah, perlahan-lahan NKRI tumbuh dan berkembang sejalan dengan aspirasi dan cita-cita ulama.
Telah terjadi transformasi besar (great transformation) politik agama di Indonesia dewasa ini. Yaitu, terdapat konvergensi politik secara nasional di mana nilai-nilai dan pranata keagamaan dan keislaman diakomodasi dalam proses-proses politik dan kebijakan publik. Konvergensi di sini merujuk pada proses politik dan kelembagaan di mana pesan-pesan moral dan kultural semakin terwadahi dalam institusi penyelenggaraan negara dalam NKRI.