Rabu, Agustus 17, 2022
  • Login
  • Register
islamina.id
  • Beranda
  • Kabar
  • Kajian
  • Gagasan
  • Kolom
  • Biografi
  • Peradaban
  • Gaya Hidup
    • Fashion
    • Kesehatan
  • Review Kitab
  • Wawancara
  • Bulletin
    • Bulletin Islamina
    • Bulletin Jumat
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Kabar
  • Kajian
  • Gagasan
  • Kolom
  • Biografi
  • Peradaban
  • Gaya Hidup
    • Fashion
    • Kesehatan
  • Review Kitab
  • Wawancara
  • Bulletin
    • Bulletin Islamina
    • Bulletin Jumat
No Result
View All Result
islamina.id
No Result
View All Result
Home Gagasan
Membangun Peradaban Islam Melalui Pendidikan Dan Budaya Santri (1)

Membangun Peradaban Islam Melalui Pendidikan Dan Budaya Santri (1)

Membangun Peradaban Islam Melalui Pendidikan dan Budaya Santri (1)

KH Said Aqil Siroj by KH Said Aqil Siroj
27/10/2021
in Gagasan, Populer, Tajuk Utama
2 0
0
2
SHARES
45
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on WAShare on Telegram

Hari ini adalah hari yang sangat istimewa dalam perjalanan kita sebagai bangsa. Hari ini juga hari yang sangat penting bagi kesadaran kita sebagai umat beragama. Pada hari inilah, pada 76 tahun yang lalu, tepatnya pada 22 Oktober 1945, Hadratus Syaikh KH. Hasyim As’yari mengeluarkan fatwa yang dikenal dengan Resolusi Jihad. Dalam fatwa tersebut, KH. Hasyim Asy’ari menyatakan bahwa perang mengusir penjajah dari tanah air adalah  fardhu ‘ain bagi setiap muslim.

Dalam dokumen yang tersimpan di PBNU, “Resolusi Jihad Fii Sabilillah” dengan jelas memuat nilai nasionalisme Indonesia yang berbasis ahlussunnah wal-jamaah, yaitu kewajiban mempertahankan kemerdekaan; NKRI sebagai satu-satunya pemerintahan yang sah; umat Islam terutama anggota NU harus mengangkat senjata melawan penjajah Belanda dan sekutunya; perang suci (jihad) ini merupakan kewajiban bagi setiap muslim yang tinggal dalam radius 94 km; dan fardhu kifayah bagi mereka yang tinggal di luar radius tersebut.

BacaJuga

Sejarah Kemerdekaan yang Tercecer

Memahami Filantropi Islam

Darurat Literasi Islam yang Ramah

Inilah peristiwa sejarah penting yang melatari lahirnya hari Santri. Suatu keputusan politik dan keagamaan penting dari para Ulama dan pesantren yang menjadikan negara Indonesia yang baru diproklamirkan waktu itu, tetap tegak berdiri. Indonesia tidak jatuh kembali ke tangan penjajah. Tidak salah jika dikatakan: “tidak ada peristiwa 10 November di Surabaya, tanpa Resolusi Jihad, alias hari Santri”.

Jika 10 November 1945 adalah titik awal dikumandangkan revolusi Indonesia, maka Resolusi Jihad telah membuktikan besarnya peran santri dalam menegakkan kemerdekaan NKRI. Resolusi Jihad juga menggambarkan bahwa, antara Islam dan nasionalisme bukanlah hal yang kontradiktif, bahkan tidak bisa dipisahkan. Resolusi Jihad merupakan ekspresi patriotisme dan nasionalisme santri yang berbasis ajaran Islam Aswaja.

Karena itulah, pada Hari Santri 2021 ini saya hendak membangkitkan kembali semangat perjuangan melawan penjajah, meneguhkan komitmen kebangsaan, dan melunasi janji para pendiri bangsa, yang ditunjukkan para ulama dan santri terdahulu.

Fondasi Islam Indonesia: Kebhinekaan, Keterbukaan, Toleransi

Dewasa ini, dunia mengetahui capaian peradaban yang telah diraih oleh umat Islam Indonesia. Prestasi ini tidak hanya terbatas pada keberhasilan kita untuk mempertahankan keutuhan negara dan berjalannya demokrasi—di mana seluruh komponen bangsa berhasil menunjukkan keselarasan antara demokrasi modern dan keberlangsungan tradisi Islam. Tetapi juga, pengakuan masyarakat dunia bahwa umat Islam di Indonesia, yang dipeopori oleh para santri dan ulama, telah menciptakan berbagai kreasi yang membentuk budaya keagamaan yang tidak bertentangan dengan kehidupan global.

Dasar-dasar peradaban Islam Indonesia sudah mulai dirintis sejak proses awal penyebarannya di Nusantara. Ketika itu masyarakat setempat sudah memiliki tatanan sosial-keagamaan yang mapan. Hampir seluruh aspek kehidupan sudah dibentuk oleh nilai-nilai agama Hindu dan Budha yang datang beberapa kurun waktu  sebelumnya. Namun uniknya, penyebaran Islam yang demikian cepat tidak mengindikasikan adanya cara-cara paksaan atau penaklukan atau kekerasan perang agama. Tidak ada catatan tentang pasukan Islam menaklukkan kerajaan-kerajaan di Nusantara; atau pemaksaan terhadap masyarakat untuk menanggalkan praktik kehidupan yang didasarkan pada agama Hindu dan Budha.

Dalam catatan sejarah, Islam masuk ke dalam kehidupan masyarakat Indonesia melalui proses sosial-budaya yang berlangsung secara bertahap, sebuah proses evolusi kultural yang hebat. Tidak ditemukan gerakan bumi hangus atau Islamisasi yang berusaha memutus mata rantai kebudayaan lama untuk digantikan dengan budaya Islam. Islam berkembang di wilayah-wilayah di Nusantara mengambil bentuk evolusioner, bahkan di pusat-pusat wilayah yang telah mapan menganut agama Hindu, Budha, bahkan masyarakat kuno Nusantara.

Oleh karena persemaian budaya yang bertahap ini, proses Islamisasi Nusantara tidak memunculkan pemisahan tegas antara wilayah Islam dan non-Islam, atau dar al-Islam dan dar al-harb. Sebaliknya, tradisi lokal, Hindu, Budha, dan Islam, saling mengisi dan mempengaruhi dalam kehidupan sehari-hari. Hasilnya, muncul sejumlah pemahaman dan tradisi keagamaan baru yang akarnya dapat dirujuk pada berbagai tradisi yang sudah ada sebelumnya. Setiap model pemahaman memiliki ke-khasan tersendiri, sesuai dengan bangunan ajaran agama dan latar belakang budaya penganutnya, tetapi tetap terhubungkan dengan pemahaman keagamaan lain melalui sejumlah kesamaan tantangan kemanusiaan.

Salah satu faktor penting yang mendorong interaksi damai adalah karakter dan sifat para pendakwah awal yang datang ke kepulauan ini bukan sebagai penakluk, melainkan sebagai pedagang dan guru sufi. Mereka adalah pedagang yang berkepentingan untuk menjalin hubungan baik dengan penduduk setempat. Interaksi ekonomi ini kemudian memfasilitasi kegiatan dakwah dan mengarahkan para ulama awal untuk lebih menekankan pada cara-cara persuasif.

Sejarah juga menggambarkan, bahwa karakter Islam yang disebarkan pendakwah awal tidak terlalu menekankan aspek hukum (fiqh). Sebagian sumber menyebutkan karakter sufi yang kuat, sehingga masalah moral, akhlak dan hakekat agama menjadi perhatian utama. Islam tasawuf, atau yang kita kenal dewasa ini dengan Islam yang bercorak sufistik, menekankan prinsip-prinsip pokok agama, seperti hubungan dengan Tuhan, menyempurnakan akhlak, dan keseimbangan hidup. Hal ini tidak berarti meninggalkan aspek syariat yang terkandung dalam fiqh Islam.

Karakter demikian membuat proses Islamisasi menjadi lentur, leluasa, tapi memiliki sumbangan positif di masa depan. Hal ini dapat dijumpai dari berbagai cerita rakyat tentang para wali. Para wali mempertahankan keindahan gaya bangunan tempat suci agama Hindu atau Budha dan memodifikasinya dengan membuat lapisan berjumlah lima sebagai simbol rukun Islam. Mereka juga tidak melarang pertunjukan wayang yang jelas-jelas hasil karya para pujangga Hindu. Para wali di Jawa mengubah alur cerita secara kreatif, dan memaknai kembali sejumlah simbol dan karakter yang ada dalam narasi utama.

Dalam aspek politik pun, para wali dan generasi ulama yang kemudian tidak memaksakan raja-raja menjadi subordinat dari kekhalifahan Islam yang saat itu sudah berjaya di Timur Tengah. Sebaliknya, mereka meneguhkan kekuasaan penguasa-penguasa lokal dengan mengangkat sebagai pemimpin agama di wilayah kekuasaan masing-masing.

Karakter Islamisasi Nusantara yang terbuka, yang bersedia menerima kebajikan dari kelompok lain, adalah capaian kepemimpinan tersendiri dari para ulama. Sikap ini tidak saja mampu menghindari kekerasan, tetapi juga membuka kesempatan untuk memahami Islam secara terbuka. Ketika berinteraksi dengan masyarakat lokal, para wali tidak saja terbuka menerima keragaman budaya, tetapi juga sadar bahwa hasil interaksi tersebut akan melahirkan pola pemahaman Islam yang kaya dan beragam.

Dalam perjalanannya, Islam di Indonesia memang tidak pernah berkembang secara seragam. Ada kelompok yang lebih dekat dengan tradisi sufi, ada yang lebih menekankan tradisi fiqh, dan ada pula yang bercirikan budaya rakyat dan adat istiadat. Munculnya keberagaman dalam menghayati Islam ini merupakan keniscayaan sosiologis dari proses interaksi kultural. Setiap kelompok dari berbagai strata sosial dan sub-kultur Islam memiliki keleluasaan mengekspresikan pemahaman Ke-Islamannya sendiri. Hasilnya, masing-masing kelompok dengan sendirinya terdorong untuk bersikap moderat dalam beragama.

*Disarikan dari pidato amanat Hari Santri Nasional 2021

Tags: Hari SantriPendidikan IslamPeradaban IslamSantri
Previous Post

Akar Historis Kelompok Radikal di dalam Islam (6)

Next Post

Membangun Peradaban Islam Melalui Pendidikan dan Budaya Santri (2)

KH Said Aqil Siroj

KH Said Aqil Siroj

RelatedPosts

Sejarah Kemerdekaan yang Tercecer
Peradaban

Sejarah Kemerdekaan yang Tercecer

16/08/2022
memahami filantropi islam
Kolom

Memahami Filantropi Islam

14/08/2022
Darurat Literasi Islam yang Ramah Islamic Book Fair
Kolom

Darurat Literasi Islam yang Ramah

12/08/2022
thumbnail bulletin jum'at al-wasathy
Bulletin

Bulletin Jum’at Al-Wasathy | Edisi 037

12/08/2022
Sekjen MUI Amirsyah Tambunan
Kabar

Jelang 2024, MUI: Tolak Politisasi Agama dan Politik Identitas

10/08/2022
bulletin jum'at
Bulletin

Bulletin Jum’at Al-Wasathy | Edisi 036

05/08/2022
Next Post
Membangun Peradaban Islam Melalui Pendidikan Dan Budaya Santri (2)

Membangun Peradaban Islam Melalui Pendidikan dan Budaya Santri (2)

Bulletin Jum’at Al-wasathy | Edisi 008

Bulletin Jum'at Al-Wasathy | Edisi 008

Cari Artikel

No Result
View All Result

Masuk / Daftar

Masuk ke Akun anda
face
visibility
Daftar | Lupa kata sandi ?

Artikel Teerbaru

Sejarah Kemerdekaan yang Tercecer

Sejarah Kemerdekaan yang Tercecer

16/08/2022
memahami filantropi islam

Memahami Filantropi Islam

14/08/2022
Darurat Literasi Islam yang Ramah Islamic Book Fair

Darurat Literasi Islam yang Ramah

12/08/2022
Kepala BNPT Komjen Boy Rafli Amar dan Ketua Umum Mathlaul Anwar KH Embay Mulya Syarief

Ormas Keagamaan Harus Ikut Masifkan Media Sosial Dengan Konten Perdamaian

12/08/2022
thumbnail bulletin jum'at al-wasathy

Bulletin Jum’at Al-Wasathy | Edisi 037

12/08/2022

Trending Artikel

  • Pribadi Nabi Muhammad Saw Yang Introvert

    Pribadi Nabi Muhammad SAW yang Introvert

    81 shares
    Share 32 Tweet 20
  • Belajar Konsep Ketuhanan dari Surat Al Ikhlas

    62 shares
    Share 25 Tweet 16
  • Cara Islam Mengatasi Rasa Insecure

    53 shares
    Share 21 Tweet 13
  • Disebut Jokowi di Pengukuhan PBNU, Ini Profil Ainun Najib

    49 shares
    Share 20 Tweet 12
  • Definisi Dai, Ustadz, Mufti, Murobbi dan Syarat-syarat yang Harus Dipenuhi

    40 shares
    Share 16 Tweet 10
Putih E E
  • Redaksi
  • Kirim Artikel
  • Tentang Kami
  • Kontak Kami
  • Kerjasama
No Result
View All Result
  • Kajian
  • Gagasan
  • Kolom
  • Biografi
  • Peradaban
  • Gaya Hidup
    • Fashion
    • Kesehatan
  • Review Kitab
  • Bulletin
    • Bulletin Jumat
    • Bulletin Islamina

© 2021 Islamina - Design by MSP.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms below to register

*By registering into our website, you agree to the Terms & Conditions and Privacy Policy.
All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

This website uses cookies. By continuing to use this website you are giving consent to cookies being used. Visit our Privacy and Cookie Policy.