Hari ini adalah hari yang sangat istimewa dalam perjalanan kita sebagai bangsa. Hari ini juga hari yang sangat penting bagi kesadaran kita sebagai umat beragama. Pada hari inilah, pada 76 tahun yang lalu, tepatnya pada 22 Oktober 1945, Hadratus Syaikh KH. Hasyim As’yari mengeluarkan fatwa yang dikenal dengan Resolusi Jihad. Dalam fatwa tersebut, KH. Hasyim Asy’ari menyatakan bahwa perang mengusir penjajah dari tanah air adalah fardhu ‘ain bagi setiap muslim.
Dalam dokumen yang tersimpan di PBNU, “Resolusi Jihad Fii Sabilillah” dengan jelas memuat nilai nasionalisme Indonesia yang berbasis ahlussunnah wal-jamaah, yaitu kewajiban mempertahankan kemerdekaan; NKRI sebagai satu-satunya pemerintahan yang sah; umat Islam terutama anggota NU harus mengangkat senjata melawan penjajah Belanda dan sekutunya; perang suci (jihad) ini merupakan kewajiban bagi setiap muslim yang tinggal dalam radius 94 km; dan fardhu kifayah bagi mereka yang tinggal di luar radius tersebut.
Inilah peristiwa sejarah penting yang melatari lahirnya hari Santri. Suatu keputusan politik dan keagamaan penting dari para Ulama dan pesantren yang menjadikan negara Indonesia yang baru diproklamirkan waktu itu, tetap tegak berdiri. Indonesia tidak jatuh kembali ke tangan penjajah. Tidak salah jika dikatakan: “tidak ada peristiwa 10 November di Surabaya, tanpa Resolusi Jihad, alias hari Santri”.
Jika 10 November 1945 adalah titik awal dikumandangkan revolusi Indonesia, maka Resolusi Jihad telah membuktikan besarnya peran santri dalam menegakkan kemerdekaan NKRI. Resolusi Jihad juga menggambarkan bahwa, antara Islam dan nasionalisme bukanlah hal yang kontradiktif, bahkan tidak bisa dipisahkan. Resolusi Jihad merupakan ekspresi patriotisme dan nasionalisme santri yang berbasis ajaran Islam Aswaja.
Karena itulah, pada Hari Santri 2021 ini saya hendak membangkitkan kembali semangat perjuangan melawan penjajah, meneguhkan komitmen kebangsaan, dan melunasi janji para pendiri bangsa, yang ditunjukkan para ulama dan santri terdahulu.
Fondasi Islam Indonesia: Kebhinekaan, Keterbukaan, Toleransi
Dewasa ini, dunia mengetahui capaian peradaban yang telah diraih oleh umat Islam Indonesia. Prestasi ini tidak hanya terbatas pada keberhasilan kita untuk mempertahankan keutuhan negara dan berjalannya demokrasi—di mana seluruh komponen bangsa berhasil menunjukkan keselarasan antara demokrasi modern dan keberlangsungan tradisi Islam. Tetapi juga, pengakuan masyarakat dunia bahwa umat Islam di Indonesia, yang dipeopori oleh para santri dan ulama, telah menciptakan berbagai kreasi yang membentuk budaya keagamaan yang tidak bertentangan dengan kehidupan global.
Dasar-dasar peradaban Islam Indonesia sudah mulai dirintis sejak proses awal penyebarannya di Nusantara. Ketika itu masyarakat setempat sudah memiliki tatanan sosial-keagamaan yang mapan. Hampir seluruh aspek kehidupan sudah dibentuk oleh nilai-nilai agama Hindu dan Budha yang datang beberapa kurun waktu sebelumnya. Namun uniknya, penyebaran Islam yang demikian cepat tidak mengindikasikan adanya cara-cara paksaan atau penaklukan atau kekerasan perang agama. Tidak ada catatan tentang pasukan Islam menaklukkan kerajaan-kerajaan di Nusantara; atau pemaksaan terhadap masyarakat untuk menanggalkan praktik kehidupan yang didasarkan pada agama Hindu dan Budha.
Dalam catatan sejarah, Islam masuk ke dalam kehidupan masyarakat Indonesia melalui proses sosial-budaya yang berlangsung secara bertahap, sebuah proses evolusi kultural yang hebat. Tidak ditemukan gerakan bumi hangus atau Islamisasi yang berusaha memutus mata rantai kebudayaan lama untuk digantikan dengan budaya Islam. Islam berkembang di wilayah-wilayah di Nusantara mengambil bentuk evolusioner, bahkan di pusat-pusat wilayah yang telah mapan menganut agama Hindu, Budha, bahkan masyarakat kuno Nusantara.
Oleh karena persemaian budaya yang bertahap ini, proses Islamisasi Nusantara tidak memunculkan pemisahan tegas antara wilayah Islam dan non-Islam, atau dar al-Islam dan dar al-harb. Sebaliknya, tradisi lokal, Hindu, Budha, dan Islam, saling mengisi dan mempengaruhi dalam kehidupan sehari-hari. Hasilnya, muncul sejumlah pemahaman dan tradisi keagamaan baru yang akarnya dapat dirujuk pada berbagai tradisi yang sudah ada sebelumnya. Setiap model pemahaman memiliki ke-khasan tersendiri, sesuai dengan bangunan ajaran agama dan latar belakang budaya penganutnya, tetapi tetap terhubungkan dengan pemahaman keagamaan lain melalui sejumlah kesamaan tantangan kemanusiaan.