Gejala ini memberi jalan para aktivis Islam, para santri di seluruh tanah air, untuk berpartisipasi dalam urusan publik, urusan pemerintahan dan memberi arah pembangunan negara—baik di birokrasi, kementerian, parlemen maupun lembaga-lembaga lainnya—dan demikianlah yang seharusnya. Perkembangan ini berarti, tatanan kelembagaan dari negara Indonesia telah mengalami perluasan di mana pembangunan akhlak, pengamalan agama, semakin diperkuat untuk pada gilirannya memberi arah kebijakan politik. Hal itu juga berarti: tanggungjawab moral sekaligus panggilan politik bagi para santri demi menjaga tegaknya NKRI juga semakin besar.
Dan di sinilah upaya menjaga momentum Hari Santri dalam rangka menghidupkan komitmen hubungan agama-negara harus dimaknai: ia diharapkan menjadi jembatan bagi arah baru transformasi politik, di mana aspek-aspek yang terkait dengan “negara Islam” diakhiri. Sebaliknya, kita semua wajib meneguhkan komitmen nasionalisme yang berlandaskan Islam ahlussunnah wal jama’ah yang lebih substansial yaitu menegakkan politik civic, politik keadaban, seperti kesejahteraan, keadilan dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Visi Hubungan Ulama dan Negara
Salah satu komitmen luhur dari Pendiri Bangsa Indonesia yang terus dipertahankan oleh segenap unsur masyarakat (di mana para ulama dan santri ada di dalamnya) adalah kepercayaan bahwa, Indonesia bukanlah negara agama dan bukan negara sekuler. Melainkan sebuah negara yang berdiri tegak berlandaskan prinsip-prinsip religiusitas tanpa pelembagaan agama.
Oleh karenanya, memposisikan hubungan agama dan negara di era demokrasi juga harus diartikan meneguhkan perjuangan untuk membangun sebuah “model politik-keagamaan yang beradab”. Politik keagamaan yang beradab berarti suatu usaha keras dan sadar untuk mencapai keseimbangan antara kekuatan-kekuatan yang sedang berlomba dalam proses politik partisipatif, dan upaya saling menghidupkan komitmen untuk menjaga visi awal pendirian negara-bangsa.
Dalam suatu politik yang berorientasi civic, agama harus menghormati hak prerogatif demokrasi—masyarakat atau rakyatlah yang berdaulat, dan merekalah yang membuat undang-undang. Namun negara juga menghormati beberapa hak istimewa dari ulama dan peran mereka yang sah di ruang publik.
Adalah hal yang memprihatinkan, bahwa banyak peristiwa intoleransi dan aksi-aksi radikalisme yang akhir-akhir ini yang mengemuka karena dilandasi keinginan untuk menjadikan agama sebagai landasan satu-satunya dalam politik demokrasi. Negara seringkali juga gagal meredam, apalagi menuntaskan, berbagai konflik sosial atau kekerasan yang dipicu oleh sentimen-sentimen etnis, rasialisme atau agama.
Untuk menangkal penyebaran arus kebangkitan ideologi radikal dan ekstrim yang terus mengancam NKRI, perlu upaya serius, terstruktur, dan terpadu dari pemerintah bekerjasama dengan para ulama:
Pertama, pentingnya menggalakkan pendidikan kewarganegaraan Pancasila di sekolah-sekolah dan universitas, sekaligus lembaga pendidikan masyarakat. Kaderisasi kelompok radikal umumnya berlangsung di kalangan remaja dan pemuda.
Kedua, pendidikan keagamaan di sekolah dan universitas harus diarahkan untuk mengajarkan Islam dalam bingkai penegakan NKRI. Karena itu, pemerintah harus benar-benar memantau dan mengevaluasi secara berkala pendidikan agama Islam yang tidak jarang disusupi ideologi Gerakan trans-nasional.
Ketiga, pemerintah perlu mendorong secara intensif, agar para ulama dan tokoh politik Islam mendesiminasi ajaran Islam yang damai dan moderat dalam bingkai dasar negara Pancasila. Pemerintah harus bekerja sama dengan pemuka-pemuka agama dalam mensosialisasikan bahwa penggunaan kekerasan dalam konsep jihad mesti dipahami secara substantif dan kontekstual. Seperti yang ditunjukkan dalam peristiwa Resolusi Jihad KH Hasyim Asy’ari, 22 Oktober 1945, jihad harus dipandang sebagai pesan etis kemanusiaan dalam Islam untuk membela kepentingan bersama, yaitu cita-cita bangsa dan negara.
Selamat Hari Santri 2021
شُكْرًا وَدُمْتُمْ فِي الخَيْرِ وَالبَرَكَةِ وَالنَّجَاحِ
وَاللهُ المُوَفِّقُ إِلَى أَقْوَمِ الطَّرِيْقِ
وَالسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحَمَةُ اللهِ وَبَرَكَتَهُ
*Disarikan dari pidato amanat Hari Santri Nasional 2021