”Tidak sempurna ibadah yang dikerjakan umat Islam sebelum memberikan apa-apa yang dicintainya.” (Al-Imran 92).
Agama hadir kemuka bumi ini untuk membebaskan (to liberate) manusia dari hukum rimba, kesewang-wenangan, ketidakadilan, kekerasan. Karena tujuan yang demikian itulah, segala bentuk penindasan, ketidakadilan, despotisme merupakan musuh agama yang pertama dan utama. Dan, ajaran-ajaran agama diarahkan untuk menciptkan suasana yang kondusif penuh cinta kasih, kesetaraan, keadilan dan kesejahteraan.
Namun, tujuan suci ini tidak selamanya sesuai dengan realitas yang terjadi. Alih-alih sebagai sarana transformasi, pembebasan dan kemanusiaan, agama justru acap menjadi problem bagi manusia.
Fungsi Agama
Fungsi agama sebagai petunjuk bagi segenap manusia (hudan li al-nass) seringkali meminta darah dan nyawa manusia untuk menebus keselamatan eskatologis nanti.
Jika demikian, mencari jalan lain untuk mencapai dan menuju tuhan tidak mesti melalui agama. Sebab, agama yang senantiasa diharapkan mampu memanusiakan manusia (to humanize human being), justru menjadi penghambat bagi terciptanya suasana yang kondusif diantara pluralitas agama.
Baca juga: Telaah Surat Al Baqarah: 43 tentang Keshalehan Spiritual dan Sosial
Kecuali itu, agama harus dikembalikan pada orientasi dan tujuan semula, yakni untuk kesejahteraan dan keselamatan manusia secara universal. Segala hal yang bertentangan dengan nilai-nilai universal harus ditolak dan ditafsirkan kembali menjadi sebuah tafsir yang humanis-kemanusiaan.
Dalam karyanya Naqd al-Khithab al-Diniy (Kritik Wacana Agama) Nashr Hamid Abu Zaid berupaya untuk mendefinisikan ulang agama untuk menemukan diferensiasai antara agama sebagai doktrin dengan hasil interpretasi manusia terhadap agama sebagai pemikiran keagamaan. Bagi Nashr, kita harus membaca teks agama harus dinamis, kontekstual. Pemaknaan seperti itulah yang disebut Nashr dengan “pembacaan produktif” (al-qiraah al-muntijah).
Lebih lanjut, Nashr Hamid dengan bukunya, Isykaliyyah al-Qira
at wa Aliyyah al-Ta`wil, memberikan sebuah tawaran hermeneutika sebagai upaya membongkar kebekuan pemikiran yang terjadi dalam tradisi penafsiran al-Quran.
Ala kulli hal, jalan menuju tuhan yang seringkali disebut sebagai agama akan menjadi stagnan dan ketinggalan zaman manakala tidak ditafsirkan secara humanis, konstruktif, transformatif. Bahkan, ia justru akan ditinggalkan penganutnya karena sudah tidak mampu lagi menjawab kebutuhan manusia dan akan mencari sandaran lain untuk menumpahkan kegelisahannya atas kehidupan ini. Maraknya kalangan ateis di Barat adalah salah satu bukti kuat akan hal tersebut.
Di Perancis—misalnya—orang yang percaya pada Tuhan sudah tidak sampai 5 %. Sehingga pendapat Jeal Paul Sartre (1905-1980) bahwa Lesistence de Lhomme exclet Lexistence de dio (eksistensi manusia meniadakan eksistensi Tuhan) tidak dapat disalahkan.