Tuhan menegaskan bahwa kita semua sama sebagai makhluk yang lemah dengan kualitas iman yang pasang surut. Perbedaannya adalah kualitas keimanan dan ketakwaan kita yang didedikasikan penuh kepada tuhan.
Kita dipandang sama oleh Tuhan, akan tetapi realitanya manusia selalu jumawa dan merendahkan, atau bahkan mendiskriminasikan manusia lain karena dipandang tidak sejalan. Hal itu yang kemudian mendorong mereka untuk berlaku seenaknya sendiri terhadap orang lain bahkan mengarahkan tindakan mereka ke sesuatu yang ekstrem yakni mengeksploitasi alam.
Jika ditelusuri lebih dalam, hal itu relevan dengan tindakan manusia yang bertindak semena-mena, karena sifat dasar manusia cenderung ingin selalu dipandang hebat dan luar biasa. Demikian ini sama sekali tidak mencirikan konsep Hablun Minallah (hubungan dengan tuhan) Hablun Minannas (hubungan antar manusia) dan Hablun Minal alam (hubungan dengan alam). Yang secara esensial kita harus bisa mensyukuri karunia Tuhan dengan mengoptimalkan pemberian-Nya.
Menurut Hasan Hanafi dalam al-Din wa al-Tsawrah (1990: 63), puasa melatih kepekaan atas nasib sesama yang menderita kelaparan dan kehausan. Artinya dalam ibadah puasa juga kita dituntut untuk bersikap empati dan melatih kepekaan kita terhadap kaum mustadh’afin (orang-orang yang lemah) yang tertindas oleh kaum borjuis dan kapitalis.
Kita melaksanakan ibadah puasa sebetulnya banyak sekali nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, namun secara tidak sadar kita mengabaikan hal tersebut yang sejatinya jika kita melaksanakannya akan timbul hubungan dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat yang harmonis.
Tentu perlu diperhatikan lagi ketika kita mengaku sebagai umat beragama, apakah kita sudah benar-benar merepresentasikan ajaran agama yang kita yakini itu? Sebab agama hadir di tengah umat manusia sebagai aspek sosial yang mengatur kehidupannya di dunia/bumi.
Jika tidak adanya norma sebagai pembatas gerak langkah manusia, maka dunia ini akan diliputi kekacauan dan kerusakan besar. Kerusakan yang ditimbulkan manusia tidak saja berdampak kepada manusia lain, bahkan lebih parahnya terhadap keberlangsungan ekosistem alam sekaligus.
Apabila kita mengaku sebagai umat beragama, maka kita harus siap menerima keberagaman yang ada, tentu dengan keberagaman itu maka beragama akan menghasilkan warna yang indah. Dan bagaimana caranya dengan keberagaman itu kita bisa satu dan mengikat kesalingan dengan menghapus penindasan yang ada.
Kalau kata Gus Dur “Kita butuh Islam yang ramah bukan Islam marah-marah” pentingnya adalah lini kehidupan kita harus diwarnai dengan keharmonisan sosial sebab kita tidak bisa terhindar dari kehidupan sosial, yaitu manusia sebagai makhluk sosial ketika ingin merasa diperlakukan baik, hendaknya berperilaku baik. Tidak hanya pada diri sendiri akan tetapi terhadap orang lain juga.
Baca Juga: Bulletin Jum’at Al-Wasathy | Edisi 020