Pernyataan Imam Dzun al-Nun al-Mishri dan al-Farabi memberikan pandangan bahwa kebahagiaan yang hakiki yaitu kenyamanan hati yang tenang dalam kondisi dan situasi apapun. Untuk meraihnya melalui cara-cara yang telah dilalukan para salafuna salihin. Cara-cara tersebut seperti melazimkan shalat sunnah, dzikrullah, membaca al-Quran, bersedekah, dan menghadiri majelis ilmu agama. Namun cara-cara tersebut di masa Revolusi Industri 4.0 ini sudah tidak dihiraukan lagi. Sehingga, manusia modern masih menganggap bahwa kebahagiaan itu berhubungan dengan harta dan sifat-sifat keduniawiyahan.
Padahal bisa kita lihat pada masa kini, berapa banyak orang-orang konglomerat dengan jabatan dan harta yang berlimpah akan tetapi mereka belum merasakan kebahagiaan. Malahan mereka menjadi serakah, keras hati, dan merasa paling benar. Jika demikian adanya maka orang-orang tersebut sudah jatuh kepada virus al-Shaqawah. Al-Shaqawah secara etimologi celaka. Syekh Muhammad bin Abdullah al-Jordani mengatakan bahwa tanda al-shaqawah itu memandang hina orang lain bahkan orang yang demikian sudah keras hatinya dan cinta kepada dunia. Bila keadaan sudah seperti itu maka ia sudah jatuh pada thulu al-amal (Panjang angan-angan) yaitu berharap banyak untuk mendirikan kemewahan di dunia.
Terkadang manusia berfikir panjang untuk mendirikan sesuatu yang bersifat tidak kekal di dunia. Sampai-sampai ia berbuat yang kurang menyenangkan seperti mengambil hak orang lain, korupsi, menghina orang lain, dan menyepelekan perintah Allah. Hal-hal itu akibat diri yang tidak bisa menahan dan memenjarakan hawa nafsu. Sebagaimana Rasulullah bersabda, “Aku paling takut dari umatku yaitu mengikuti hawa nafsu dan panjang angan-angan. Adapun mengikiti hawa nafsu yaitu menyimpang dari kebenaran yang telah ditetapkan Allah. Sedangkan panjang angan-angan yaitu melupakan akhirat. Ketahuilah bahwa menekan hawa nafsu merupakan pangkal ibadah” (Muhammad Ahmad Darwish:2014:86).
Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki memberikan dzikir agar hati manusia terus berbahagia. Adapun dzikirnya Ya Lathif (Wahai Yang Maha Lembut), Ya Hafizh (wahai Yang Maha Menjaga), Ya Kafi (wahai Yang Maha Memberi Kecukupan) dibaca seratus kali. Bahkan Guru kami Syekh Ali bin Abdullah al-Saqqaf membacanya lima ratus kali, dan berwasiat kepada kami agar senantiasa membaca dzikir tersebut (Sayyid Muhammad al-Maliki:2017:434).
Baca Juga: Ayat Kursi Di Tengah Pandemi Covid-19