Ijtihad Muhammadiyah sejak berdirinya tentu saja diarahkan pada persoalan ketiganya yang melibatkan persoalan agama sekaligus duniawi. Terhadap tradisionalisme Islam dan Jawaisme, Muhammadiyah menyoroti berbagai ritual Muslim tradisionalis yang dianggap “menyimpang” dari syariat Islam.
Muhammadiyah Menghadapi Modernisme Kolonial
Sementara itu, untuk menghadapi modernisme kolonial, Muhammadiyah membuka ruang layanan publik yang dibutuhkan masyarakat namun tetap menjadi media dakwah. Gagasan ijtihad semacam ini yang ditopang keyakinan semboyan al-ruju’ ila al-Qur’an wa al-Sunnah memberi konsekuensi logis pada aspek kemajuan dibidang agama (dakwah) dan sosial.
Tidak salah lagi gagasan ijtihad Muhammadiyah membawanya ke dalam wacana di mana pembaruan (tajdid) merupakan suatu yang niscaya. Pembaruan mengindikasikan adanya format baru atau memperbarui sesuatu, sehingga ijtihad-lah yang diperlukan.
Adapun ijtihad memerlukan keleluasaan akal dalam mengoptimalkan proses kerjanya. Selaras dengan hal itu, Muhammadiyah mengakui bahwa Islam adalah agama rasional yang terbuka bagi ide-ide, kreativitas, dan kemajuan.
Ijtihad dimaksudkan sebagai upaya bersungguh-sungguh untuk menemukan tafsir serta pendapat mengenai suatu hal. Menurut pemahaman
Muhammadiyah, ijtihad terdiri dari interpretasi secara rasional terhadap Al-Qur’an dan Hadis. Dengan keyakinan bahwa pintu ijtihad selalu terbuka, Muhammadiyah tidak membenarkan anggotanya melakukan taklid.
Doktrin Muhammadiyah menerangkan bahwa ijtihad bisa dilakukan secara personal maupun kolektif. Jika seorang Muslim tidak mampu berijtihad secara individu karena lemahnya pengetahuan agama, maka diperbolehkan ittiba’ dengan mengikuti ijtihad seorang ulama yang mendasarkan segala sesuatu pada Al-Qur’an dan Hadis.
Meskipun demikian, setiap individu yang ber-ittiba’ atau mengikuti fatwa ulama diharuskan memahami pula makna dan posisi argumen agama yang menjustifikasi fatwa tersebut.