Peristiwa Monas hingga saat ini masih jadi perbincangan hangat di forum-forum akademik, karena imbas dari aksi tersebut sangat membentuk fenomena keagamaan yang cukup genting. Sebab buntut dari itu melahirkan perseteruan antar kelompok Islam, seperti penguasaan masjid, tidak menyalati mayit, perumahan syariah, investasi bodong, dan lain-lain.
Kembali pada kasus Zain an-Najah. Tersangka terduga kasus terorisme itu sebagai anggota komisi fatwa MUI memang posisi yang sangat strategis dalam mencampuri urusan fatwa. Keterlibatannya mungkin dapat dukungan dari misi demokrasi yang dimiliki oleh Indonesia untuk merangkul seluruh rakyat Indonesia tanpa melihat dari kelompok Ormas manapun. Namun, di sisi lain yang cukup membahayakan adalah terorisme sudah jadi musuh negara.
Artinya, memberikan ruang demokrasi terhadap musuh negara sama saja menggerogoti demokrasi dari dapur sendiri. Orang-orang seperti Zain tidak seharusnya masuk di lembaga MUI maupun lembaga lain yang berafiliasi untuk keselamatan negara. Hemat saya, dalam penyaringan MUI memang perlu lebih selektif lagi. Atau masyarakat akan bisa menilai bahwa MUI bukanlah beranggotakan ulama-ulama moderat dalam berfatwa. Sehingga fatwa-fatwa yang dikembangkan belakangan cukup beroma “kemandulan” dalam pemikiran. Mulai sekarang, MUI perlu screening adakah Zain-zain lain di dalamnya.
Baca Juga:
Dinamisasi Fatwa MUI di tengah Pandemi dan Dampaknya di Masyarakat