Di sini nikah beda agama memunculkan pertanyaan meresahkan tetapi sangat penting: Mana yang lebih suci: agama atau cinta?
Pandangan fikih yang membolehkan laki-laki Muslim menikah dengan perempuan non-Muslim dan melarang perempuan Muslim menikah dengan laki-laki non-Muslim sebenarnya berangkat dari pemahaman terhadap ayat al-Qur`an yang berbunyi,
وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ ۚ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ ۗ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّىٰ يُؤْمِنُوا ۚ وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ ۗ أُولَٰئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ ۖ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ ۖ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ.
“Dan janganlah kamu menikahi perempuan-perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya perempuan budak yang mukmin lebih baik dari perempuan musyrik, walaupun ia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik [dengan perempuan-perempuan mukmin] sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun ia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran,” [Q.S. al-Baqarah: 221].
Q.S. al-Baqarah: 221 ini bisa dipahami dalam dua hal. Pertama, dilihat dari sabab nuzûl-nya. Sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ra., dan sering dikutip oleh para ulama tafsir di dalam kitab-kitab mereka, sabab nuzûl ayat ini adalah sebagai berikut:
عن ابن عباس في هذه الآية قال: نزلت في عبد الله بن رواحة، وكانت له أمة سوداء ، وإنه غضب عليها فلطمها، ثم إنه فزع فأتى النبي صلى الله عليه وسلم، فأخبره خبرها، فقال له النبي صلى الله عليه وسلم: ما هي يا عبد الله ؟ فقال: يا رسول الله صلى الله عليه وسلم، هي تصوم وتصلي وتحسن الوضوء وتشهد أن لا إله إلا الله وأنك رسوله، فقال: يا عبد الله هذه مؤمنة. فقال عبد الله: فوالذي بعثك بالحق نبيا لأعتقنها ولأتزوجنها، ففعل. فطعن عليه ناس من المسلمين فقالوا: نكح أمة! وكانوا يريدون أن ينكحوا إلى المشركين وينكحوهم رغبة في أحسابهم، فأنزل الله تعالى فيهم: ( ولأمة مؤمنة خير من مشركة ولو أعجبتكم ) الآية .
Terkait ayat ini Ibn Abbas ra. berkata, “Salah seorang sahabat Nabi Saw. bernama Abdullah ibn Rawahah mempunyai budak perempuan hitam, lalu kemudian karena kejadian tertentu akhirnya Abdullah ibn Rawahah marah besar dengan budaknya, lalu beliau menamparnya.
Kejadian ini akhirnya diceritakan kepada Nabi Saw., lalu kemudian Nabi Saw. bertanya, ‘Bagaimana keadaan budakmu itu, wahai Abdullah?’ Lalu dijawab, ‘Ia berpuasa, shalat, berwudhu, dan ia juga bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Engkau adalah utusan Allah.’ Maka seketika Nabi Saw. mengatakan bahwa ia adalah Muslimah. Kemudian Abdullah ibn Rawahah bersumpah untuk memerdekakannya dan menikahinya.
Masyarakat setempat pada waktu itu ramai memberitakan pernikahan Abdullah ibn Rawahah dengan mantan budak perempuannya, seakan itu adalah pernikahan yang hina, sehingga mereka sangat menyayangkan hal itu terjadi. Ramainya pemberitaan negatif ini disebabkan karena pada waktu yang bersamaan adanya fenomena di masyarakat Arab di mana mereka senang menikahi perempuan musyrik karena biasanya mereka mempunyai jabatan bagus atau berpangkat. Dengan kejadian seperti ini, maka turunlah Q.S. al-Baqarah: 221, sebagai jawaban bahwa apa yang dilakukan Abdullah bin Rawahah bukan sebuah hal yang buruk.
Kedua, Q.S. al-Baqarah: 221 ini bisa dipahami dalam konteks sejarah konflik dan peperangan, yang tidak memungkinkan untuk membangun hubungan manusia dalam afiliasi agama-agama yang berbeda-beda. Karenanya, itu tidak dapat diubah menjadi aturan umum, atau dianggap sebagai kehendak Tuhan. Dan kita percaya bahwa aturan ini pada masa kita sekarang telah mengalami pergeseran, dalam konteks kebebasan individu dan kebebasan berkeyakinan, di samping tumbuhnya kesadaran mengenai nilai penerimaan terhadap orang lain. Jika kebebasan merupakan salah satu tujuan syariat, maka perlu dilakukan ijtihad dan pembacaan ulang aturan diskriminatif ini, berdasarkan prinsip al-Qur`an tentang kesetaraan antara perempuan dan laki-laki dalam hukum dan kewajiban.