Lepas dari perdebatan peristilahan dan realitas perjalanan sejarahnya, wacana tentang kemunduran dan kejatuhan peradaban atau kekuatan-kekuatan besar, khususnya di Dunia Barat, kembali menemukan momentumnya ketika sejarawan Paul Kennedy menerbitkan karyanya yang kini sudah menjadi klasik, The Rise and Fall of the Great Powers (1987). Penerbitan buku empat tahun sebelum runtuhnya Uni Soviet seolah menjadi prophesy bagi Soviet, sehingga meninggalkan AS sebagai satu-satunya kekuatan adidaya yang didukung sekutu-sekutu Baratnya dalam percaturan politik, ekonomi, militer dan budaya global tidak hanya terhadap Dunia Islam, tetapi juga atas kawasan maju lainnya, khususnya Eropa Barat.
Secara kolektif, AS beserta negara-negara Eropa Barat maju seperti Jerman, Prancis, dan Inggris yang merupakan inti (core) peradaban Barat, suka atau tidak, tetap menduduki posisi dominan dan hegemonik terhadap bagian-bagian dunia lain, termasuk khususnya Dunia Muslim. Meski terdapat negara-negara Muslim yang mencapai kemajuan ekonomi dan politik secara signifikan, mereka belum mampu melepaskan diri dari dominasi dan hegemoni Barat. Bahkan sampai sekarang ini, umumnya negara-negara Muslim/Islam di Timur Tengah, sejak dari Mesir, Arab Saudi, Irak sampai negara-negara Teluk, hampir sepenuhnya tergantung kepada AS dalam bidang ekonomi, politik dan militer. Situasi ini relatif berbeda dengan Indonesia yang tidak memiliki ketergantungan apa-apa pada AS— meski hegemoni ekonomi dan politik AS sulit dihindari rejim penguasa Indonesia.
Amerika Serikat, sekali lagi, merupakan kekuatan Barat yang sangat dominan dan hegemonik selama kebanyakan abad 20—mengatasi Eropa yang sebelumnya melalui kolonialisme dan imperialisme menguasai banyak wilayah Asia. Sejak masa pasca-Perang Dunia II, AS menduduki posisi puncak aliansi kekuatan Barat kapitalis dalam menghadapi Blok Timur sosialis di bawah komando Uni Soviet. Runtuhnya Uni Soviet pada 1990 hanyalah memberikan peluang besar bagi AS dan Dunia Barat secara keseluruhan untuk kian menegaskan dominasi dan hegemoni mereka.
Meski demikian, kian banyak ahli—bahkan orang Amerika sekalipun—berbicara tentang The Decline and Fall of the American Empire, seperti judul karya James Quinn (2009) atau sebelumnya Jim M Hanson (1993) dan Gore Vidal (1992) dengan judul yang sama. Bahkan masa jaya Amerika seolah-olah telah lewat sebagaimana terkesan dalam judul buku Fareed Zakaria The Post American World (2008). Judul-judul dan substansi buku itu bisa jadi menyesatkan sementara orang Asia yang mengharapkan kejatuhan Amerika. Memang jelas, terlihat kemunduran, atau sedikitnya, bahwa AS jalan di tempat, sementara negara-negara lain seperti Jepang, Korea Selatan dan China kian menanjak. Tetapi juga jelas, seperti argumen Fareed Zakaria dalam The Post American World dan kolom-kolomnya di majalah Newsweek, Amerika masih tetap memegang supremasi dalam ilmu pengetahuan dan sain- teknologi.
Persepsi tentang ‘kemerosotan’ Amerika itu bisa bertambah kuat belaka, ketika dunia menyaksikan kebangkitan China dalam bidang ekonomi, sains dan teknologi. China bahkan dengan segera mengalahkan Jepang sebagai salah satu ekonomi terbesar di dunia. Kebangkitan China seolah merupakan sebuah ‘miracle’ (mukjizat), yang membuat Dunia Barat, khususnya AS sangat nervous. Tekanan-tekanan AS agar China membuka pasarnya, membebaskan mata uangnya, dan menghormati HAM dan demokrasi terbukti lebih sering diabaikan begitu saja oleh para penguasa China. Hal ini, tidak lain terutama karena kian menguatnya ‘ketergantungan’ AS pada China dalam ekonomi dan devisa.
Bersambung..