Islah menjelaskan, HTI mendeklarasikan berdirinya kelompok mereka pada tahun 2007 di GBK (Gelora Bung Karno). Ketika ruang politik memberikan semua itu kepada kelompok-kelompok pengusung ideologi transnasional, maka selesailah semua. Mereka merasa punya legalitas untuk bergerak baik di atas maupun di bawah permukaan.
“Pada saat kita yang moderat bersuara di media mainstream maupun media sosial, atau bahkan terjun langsung ke lapangan, kelompok radikal juga melakukan hal yang sama. Artinya kita tidak pernah menjadi leading, menjadi pemimpin dalam setiap tikungan perlombaan ini. Pada masa pemerintahan dibawah presiden sebelumnya, tidak ada yang mau bergerak, padahal gerakan-gerakan kelompok radikal ini sudah terlanjur mendapatkan ruangnya,” paparnya.
Ketika hari ini bergerak, sambung Islah, mereka juga melakukan pergerakan yang sama, sehingga Indonesia masih defisit dalam upaya kontra radikalisme ini.
“Oleh karena itu, ini adalah tugas bersama yang perlu kehadiran negara baik secara normatif maupun secara kontra naratif. Negara harus hadir, kalau negara tidak hadir, maka akhirnya sama saja seperti menyerahkan persoalan yang sangat rumit dan tidak sederhana ini kepada masyarakat. Sementara itu, perlu diingat bahwa yang bisa melakukan tindakan preventive strike dan coercive strike itu hanyalah negara,” tambah Islah.
Pria yang akrab disapa Cak Islah ini mengatakan, penanggulangan pemahaman radikalisme dan ekstremisme, termasuk mereka yang ingin mengganti Pancasila sebagai falsafah Indonesia, bukan hanya tugas masyarakat. Ini juga menjadi tugas negara untuk mencerahkan kepada masyarakat dan memberikan penguatan kepada siapapun yang moderat untuk mau bergerak.
Menurutnya pergerakan yang dibutuhkan mulai dari tataran akar rumput, dan utamanya nanti bergerak ke dunia pendidikan. Kalau kita pahami, gerakan-gerakan pengusung khilafah ini bergeraknya pada tataran akademis.
“Mereka (jaringan teror) itu targetnya adalah membentuk agen-agen perubahan, mereka ingin melakukan kaderisasi dan rekrutmen terhadap banyak kelompok intelektual karena dianggap punya kemampuan untuk mempengaruhi orang lain yang jauh lebih banyak. Hal ini harus kita imbangi dengan melakukan kontra radikalisasi di semua kalangan termasuk lingkungan intelektual.
“Sejauh yang saya pahami, belum ada regulasi khusus untuk mengatur itu dan peran negara di lini pencegahan masih kurang berdampak. Berkaca dari berakhirnya organisasi HTI dan FPI, posisi pemerintah bukan membubarkan, namun hanya tidak memperpanjang izin dua organisasi tersebut. Tindakan tersebut bukanlah mitigasi yang bersifat panjang, karena seolah hanya memutus ekor (HTI dan FPI) tapi badannya dan kepalanya masih seliweran ke mana-mana,” pungkas Islah.