Beberapa waktu yang lalu, saya berkunjung ke Purwokerto. Sudah lama tidak bertemu dengan sahabat-sahabat yang banyak sekali membantu kehidupanku. Ada yang sudah menyelesaikan ‘ibadah’ akademiknya, dan ada yang masih berjihad menyelesaikan studinya. Sengaja aku tanya ke mereka terkait penelitian apa yang diambil. Dan salah satu yang menarik perhatianku adalah terkait hak perempuan dalam melakukan aborsi.
Agama Islam pada dasarnya memberi posisi setara bagi pemeluknya. Meskipun berbeda baik dari bangsa, suku, atau asal daerah, tetap sama di mata Allah Swt. Yang membedakan yaitu tingkat ketakwaan hamba. Pada masa Pra-Islam, perempuan tidak memiliki bargaining position pada kondisi sosial, politik dan lain-lain. Perempuan dikesankan sebagai makhluk tidak bermanfaat — atau anak perempuan sebagai aib — dalam sebuah keluarga dan sering mengalami diskriminasi.
Dalam pernikahan misalnya, perempuan sering dieksploitasi, dipaksa menikah, dipoligami tanpa batas, ditukar, dan sebagainya. Semacam pernikahan sebagai kontrak dalam hal hasrat seksual semata (Engineer, 2000).
Pemaknaan perempuan dalam kajian teks keagamaan, seringkali digunakan untuk ego hingga timbul sikap misoginisme dalam diri seorang laki-laki. Namun, ada juga yang memahami perempuan dengan teks keagamaan dalam arti perempuan mempunyai derajat sosial yang sama dengan laki-laki. Walau Alquran juga menerangkan posisi laki-laki lebih unggul dari perempuan secara fisiologis, seperti Q.S. an-Nisā’ ayat 34 (Suhendra, 2020).