Sebelumnya, Pekojan identik dengan orang Koja atau Kojah, yakni orang Muslim India-Benggal yang bermukim di kota-kota pelabuhan. Sama seperti orang Arab, kedatangan mereka ke negeri-negeri di bawah angin, termasuk Nusantara, adalah untuk berdagang.
Selain rumah, bangunan lain yang ditemukan di pemukiman Pekojan, adalah masjid luas yang menjadi titik pusat ibadah Muslim, di mana seorang imam Arab merangkap jabatan sebagai kepala sekolah. Dalam bahasa Melayu, masjid dikenal dengan sebutan langgar.
Selain langgar, terdapat pula tempat ibadah yang lebih kecil, disebut dengan nama zawiyah. Di Batavia abad-19, kebanyakan orang Arab berasal dari seluruh wilayah di Hadramaut.
Namun hanya sebagian kecil yang merupakan keturunan Sayyid. Golongan Sayyid adalah keturunan Rasulullah dari Sayyidina Husein. Sementara, dari Sayyidina Hasan disebut Syarif. Hasan dan Husein merupakan putra Sayyida Fatimah binti Muhammad dengan Ali bin Abi Thalib.
Dari berbagai literatur disebutkan, para keturunan Rasullullah banyak yang berasal dari Husein sehingga disebut Sayyid. Kalau dari jalur Hasan dikenal dengan panggilan “Syarif”.
Itu gelar untuk laki-laki, sementara perempuan dipanggil “Sayyidah” atau “Syarifah”. Misalnya, Sayyid Jalaluddin Al-Aidid di Cikoang, Makassar. Dengan alasan penyesuaian dengan bahasa Indonesia maka “Sayyid” dipanggil “Sayye’”, atau Tuan. Seperti yang saya tuliskan dalam buku Maudu’: A Way of Union With God (ANU Press, 2015).
Di Jakarta, Karena proses akulturasi budaya maka sebutan Sayyid adalah “Wan”. Di Sarawak dan Sabbah disebut “Tuanku”. Di Pariaman (Sumatera Barat) disebut “Sidi”, di Aceh berubah menjadi “Said”, di Sumatra Barat menjadi “Sidi”.