Dari perempuan bercadar, stigma yang dirasakan ketika ada perempuan aktivis kemanusiaan/toleransi seperti Rosi dan Kak Nun, cenderung menganggap mereka tidak kaffah dalam beragama. Mereka dianggap mengenakan cadar hanya sebagai fashion saja, bukan semata-mata taat terhadap perintah agama dalam versi penafsiran mereka.
Sedangkan dari versi yang tidak bercadar, sebagian dari mereka cenderung menstigma negatif perempuan bercadar tetap sebagai sosok yang radikal. Meskipun dia aktivis yang toleran sekalipun. Para perempuan bercadar ini dianggap tidak nasionalis sepenuhnya, karena masih mengenakan atribut budaya asing. Padahal kita sendiri belum tentu terbebas dari atribut budaya asing.
Stigma dua arah itu betul-betul memberatkan beban mereka. Belum lagi, ada sebagian pengalaman yang membuat beberapa dari mereka memutuskan untuk bercadar. Misalnya, pelecehan.
Pelecehan bisa terjadi kepada siapa saja, di mana saja, dan kapan saja. Bisa juga dilakukan dengan hanya lirikan mata. Saya mengenal Caca, perempuan bercadar yang jadi kawan saya di medsos. Ia mengenakannya lantaran takut dengan tatapan orang. Berkali-kali di angkutan umum, ia dilecehkan pria dengan melihat lekuk tubuhnya hingga wajahnya. Bahkan secara terang-terangan, ada pria tak dikenal yang mengajaknya berhubungan seksual.
Risih, tentu saja. Tapi semenjak bercadar dan berpakaian agak longgar, ia merasa jauh lebih aman dan nyaman dibanding sebelumnya. Meskipun dia paham betul bahwa semua itu hanya kebetulan, pakaian tidak pernah menjamin kita terbebas dari pelecehan.
Dari setidaknya tiga kisah sosok bercadar di atas, dapat disimpulkan bahwa motivasi orang bercadar memang beraneka macam. Ada yang memang murni ia mengikuti perintah agama sesuai pengetahuan dirinya, terpaksa karena suatu keadaan, bahkan ikut trend fashion terkini.
Soal radikal atau tidak radikal, bukan jaminan bercadar atau tidak bercadarnya seseorang. Hal itu lebih pada pola pikir, inklusifitas, dan seberapa banyak literatur keagamaan yang ia baca. Radikal juga tidak bisa diidentikkan dengan cadar sebagai tolok ukur, tapi ada pada perbuatan, pemikiran, dan pemahaman seseorang. Sekali lagi, bukan pada atribut yang dikenakan. Stop stigma terhadap perempuan bercadar. Apa mungkin ini hanya ada di Indonesia?
Baca Juga: Hijab Bukan Kewajiban Islam