Setiap manusia yang dilahirkan di bumi memiliki hak sama, begitu juga hak untuk mendapatkan pendidikan, pekerjaan, maupun hak dalam mengambil keputusan. Akan tetapi, melekatnya budaya patriarki ini yang menyebabkan kesenjangan gender. Hakikat kesetaraan gender dan keadilan memang tidak bisa untuk dijauhkan dari konteks yang selama ini dipahami oleh masyarakat tentang kedudukan perempuan dan laki-laki dalam tatanan masyarakat.
Dalam pemahaman agama, penjelasan sistem patriarki ada dan dimuat dalam ilmu fiqih maupun tafsir. Di dalam ilmu fiqih, perempuan juga dibatasi dalam wilayah domestik saja. Contohnya syarat untuk mengerjakan sholat jum’at, menjadi wali, hakim, dan pimpinan harus semuanya di duduki oleh seorang laki-laki. Sementara di bidang tafsir, Ibn Katsir (W.774H) ketika menafsirkan Al-qur’an surah An-nisa’ ayat 34 beliau tampak dipengaruhi nilai-nilai budaya patriarkis. Nilai patriarkis yang di tampakkan dalam tafsirnya diantaranya dari pernyataan penulisnya yang menganggap bahwa peran seorang laki-laki sebagai, penguasa, pengayom, pemimpin, dan hakim serta pendidik seorang perempuan, jika seorang perempuan itu membengkok. Di sini sudah di jelaskan bahwasannya semua laki-laki lebih berpendidikan dan lebih mampu berperan sebagai pemimpin dari seorang perempuan yang mempunyai kecenderungan membengkok (potensi negatif). Hal tersebut adalah tindakan yang mengistimewakan seorang laki-laki dan merendahkan martabat perempuan, serta memberi tanda seorang perempuan dengan sifat negatif.
Pada akhirnya, jika logika patriarki semakin tumbuh subur, perempuan kian tertindas. Di dalam ruang lingkup patriarki semacam ini seorang perempuan sulit mendapatkan jalan untuk pemenuhan kesetaraan untuk mengekspresikan diri mereka di ruang publik dan media sosial. Logika patriarki justru sangat bertautan dengan kekerasan dan perempuan mudah tunduk di bawah kepentingan sepihak. Inilah yang mesti disadari oleh masyarakat kita hari ini agar tidak mudah terjebak dalam nalar berpikir untuk mengunggulkan diri dengan seraya menundukkan pihak lain. Karena selama itu terus dipraktikkan, selama itu pula kita tidak pernah memahami kesetaraan.
Baca Juga: Melacak Asal-Usul Budaya Patriarki terhadap Perempuan (2)