Baca juga :
- Membaca Potensi Penyebaran Radikalisme di Masa Pandemi
- Gerakan Khilafah dan Reproduksi Hantu Komunisme
Siska Nur Azizah dan Dita Siska Millenia atau dikenal duo Siska sangat mengejutkan. Dua gadis belia yang masih tercatat mahasiswa ini ingin membantu narapidana terorisme di kerusuhan Mako Brimob dan Puji Kuswati pelaku bom Gereja Surabaya yang terkenal dan menjadi fenomenal karena baru pertama berkasus terorisme sekeluarga (family terrorism). Model terorisme sekeluarga ini pun akhirnya kembali muncul ke permukaan dalam kasus penusuk Menkopolhukam, Wiranto, yang membagi perannya bersama istrinya, Fitria Diana yang menjadi algojo untuk menusuk Kapolsek Menes pada tahun 2019 silam.
Satu lagi yang perlu disebutkan adalah pelaku bom Sibolga, Solimah, istri Husain alias abu Hamzah yang berafiliasi dengan ISIS. Dalam pengakuan suaminya sungguh mengejutkan jika istrinya sesungguhnya lebih militan dan memiliki pemikiran yang lebih radikal dari pada dirinya. Dari sini loyalitas perempuan ketika mengalami doktrinasi akan lebih kuat dari pada laki-laki.
Masih Menjadi Korban
Melihat trend baru perempuan dalam jejaring dan aksi teror sepertinya perannya telah semakin tinggi dan mengalami pergeseran. Perempuan telah seolah menjadi pribadi yang aktif bukan lagi pasif dalam fenomena terorisme. Namun, apakah betul demikian?
Musda Mulia (2019) masih memandang keterlibatan perempuan dalam aksi terorisme walaupun mereka naik kelas menjadi pelaku dan pejuang, tetapi sejatinya masih berposisi sebagai korban terorisme. Lihatlah sebenarnya dalam kasus Dian bagaimana dia direkrut dan didoktrin oleh suaminya yang hanya berkenalan secara online. Perempuan masih didudukkan sebagai obyek yang dieksploitasi oleh laki-laki.
Menjadikan perempuan sebagai obyek baru dalam kasus teror akan terus menjadi trend. Ada beberapa alasan untuk mengatakan hal tersebut. Pertama, perempuan sangat diandalkan dalam soal loyalitas, kesetiaan dan kepatuhan. Sekali perempuan mengalami doktrinasi akan lebih nampak militan dari pada laki-laki. Hal ini misalnya terlihat dalam kasus bom Sibolga, Medan.
Kedua, perempuan juga paling mudah percaya dan tunduk dengan nuansa yang berbau agama. Dengan hanya mengakses sosial media tetapi dengan tingkat literasi yang rendah perempuan banyak terpedaya dengan konten kesalehan dalam nuansa keagamaan.
Ketiga, penggunaan perempuan digunakan sebagai siasat untuk mengelabui aparat penegak hukum. Biasanya aparat tidak akan pernah menyadari jika perempuan akan menjadi martir dan berani untuk melakukan tindak kejahatan teror. Namun, fakta yang sungguh mencabik rasa kemanusiaan kita adalah kasus Bom gereja Surabaya di mana sang Ibu menuntun anaknya untuk mati bersama dalam aksi teror.