Para analis menunjukkan bahwa organisasi-organisasi jihadis menganggap perempuan sebagai taktik efektif dalam operasi mereka karena kelebihan yang dimilikinya yang tidak dimiliki oleh laki-laki pelaku bom bunuh diri. Perempuan mudah melewati pos-pos keamanan tanpa harus melalui banyak pemeriksaan, karena di dalam tradisi sosial dan budaya di beberapa negara Islam terdapat larangan melakukan penggeledahan/pemeriksaan terhadap perempuan secara teliti. Para perempuan sering menutupi wajah mereka, sehingga membuat mereka sulit diidentifikasi karena mengenakan jubah hitam longgar (bahkan mungkin laki-laki yang menyamar) yang dengan mudah bisa menyembunyikan bahan peledak di baliknya. Menurut para pengamat, banyak janda yang terlibat dalam aksi-aksi bom bunuh diri sebagai cara untuk melarikan diri dari kehidupan mereka yang menyedihkan, dan inilah yang dimanfaatkan oleh kelompok teroris untuk melakukan lebih banyak operasi terorisme.
Terlepas dari munculnya pelaku bom bunuh diri perempuan di paruh kedua abad ke-20 melalui kelompok Marxis, pengamat percaya bahwa sejak tahun 1990-an, organisasi bersenjata memanfaatkan perempuan untuk melakukan bom bunuh diri selama perang Chechnya, dan mereka disebut sebagai “janda hitam”. Sebagai akibat perang, di mana orang-orang Chechnya menjadi sasaran pembersihan, pemerkosaan, pengusiran dan penyiksaan di tengah pengabaian masyarakat internasional, muncul generasi perempuan yang kehilangan suami, ayah, saudara, dan anak mereka. Dengan melampaui peran-peran tradisional mereka yang marjinal sebagai perempuan, mereka bergabung dengan organisasi teroris dan diberi peran memimpin operasi bunuh diri dan merekrut perempuan-perempuan lain. Al-Qaeda di Irak juga terinspirasi dari pengalaman perempuan Chechnya, mereka menjadikan perempuan sebagai pelaku bom bunuh diri.
Bagi kelompok-kelompo ekstremis dan teroris, perempuan merupakan target strategis penting dan komponen penting di dalam struktur organisasi. Selain perannya dalam pergerakan, penyediaan barang dan transfer informasi selama masa perencanaan, persiapan dan pelaksanaan, juga dianggap sebagai salah satu sarana propaganda dan mobilisasi kelompok dan ideologi ekstremis, juga sebagai faktor untuk menarik para pemuda.
Baca juga: Mengenal Teologi Terorisme
Bukan hanya kelompok ekstremis “Islam” yang menggunakan perempuan sebagai pelaku bom bunuh diri. Gerakan revolusioner paling menonjol yang menggunakan perempuan dalam operasi bersenjata adalah gerakan separatis “Macan Tamil Sri Lanka”, di mana seorang perempuan pelaku bom bunuh diri yang merupakan anggota militan dari gerakan tersebut membunuh mantan Perdana Menteri India Rajiv Gandhi tahun 1991 setelah mengalungkan karangan bunga di lehernya dalam sebuah pertemuan besar.
Dari uraian di atas kita melihat ada beberapa alasan yang dapat mendorong perempuan bergabung dengan organisasi teroris, antara lain motif emosional dan psikologis, keyakinan ideologis, faktor politik dan ekonomi, selain rasa ketidakadilan, penindasan, marginalisasi dan kekerasan. Terkadang tujuan para perempuan untuk bergabung, seperti halnya laki-laki, baik untuk mencari kehidupan baru dalam kelompok di mana mereka merasa diperhatikan dan berbagi ide yang sama, atau keinginan untuk balas dendam, atau pemberdayaan dan realisasi diri, atau melarikan diri dari kenyataan yang menyakitkan.
Jika perempuan-perempuan pelarian dari Boko Haram menghadapi kesulitan penerimaan dan adaptasi, maka perempuan-perempuan yang kembali dari ISIS menghadapi tantangan integrasi dan kebebasan dari masa lalu mereka sebelumnya. Sebuah laporan di Amerika memperingatkan tentang bahaya istri dan janda anggota ISIS yang tinggal bersama anak-anak mereka di kamp-kamp di Suriah dan Irak, atau sebagian dari mereka yang kembali ke negara-negara mereka di Timur Tengah, Eropa dan Amerika Serikat; mereka digambarkan sebagai “bom berdetak”.
Laporan yang diterbitkan oleh “Dewan Atlantik” pada Mei 2019 mengatakan bahwa pejabat keamanan di negara-negara tempat perempuan-perempuan militan ISIS kembali “menghadapi tantangan mereka sendiri, yaitu bagaimana cara menangani dan mengawasi perempuan-perempuan militan ISIS yang telah kembali itu”. Pemerintah-pemerintah di Barat merasa khawatir dengan kemungkinan para perempuan ini kembali lagi ke jaringan organisasi teroris ISIS, yang membuka pintu bagi operasi-operasi terorisme baru di Eropa dan Amerika Serikat.
Karena itu, sejumlah negara di Eropa dan Amerika menolak memulangkan perempuan-perempuan tersebut, sementara mereka sendiri berusaha memastikan kewarganegaraan asli mereka agar dapat meninggalkan keadaan sulit mereka itu. Sedangkan para perempuan yang tergabung dalam wilayah-wilayah yang berada di bawah kendali ISIS di Suriah dan Irak, dan sebagian dari mereka dinikahi tentara asing ISIS baik dengan persetujuan mereka atau dipaksa, kemudian mereka dicerai sehingga menjadi janda dengan anak dari ayah yang tidak dikenal karena mereka tidak mengetahui nama asli suami-suami mereka dan juga belum mengetahui nasib suami-suami mereka setelah mereka ditinggalkan untuk melakukan sesuatu yang dipandang sebagai jihad, para perempuan ini menderita bersama anak-anak mereka karena dikucilkan oleh masyarakat dan dipandang rendah karena hilangnya garis keturunan dan dokumen identitas. Kasus ini jumlahnya mencapai ribuan.
Di sisi lain, Pusat “Perang Melawan Terorisme” di Universitas George Washington pada bulan Juni 2019 menerbitkan laporan tentang perempuan militan ISIS di kamp Al-Hol, timur laut Suriah, yang menyatakan bahwa mereka tidak puas hanya dengan serangan verbal, lebih dari itu mereka juga menggunakan pisau, melempar batu, dan membakar tenda untuk mengancam perempuan-perempuan lainnya. Bahkan mereka mendirikan sel-sel di dalam kamp untuk menjatuhkan hukuman kepada “perempuan yang tidak patuh” dan dianggap murtad karena ketidakpatuhan mereka.
Semua itu sesungguhnya merupakan seruan kepada kita untuk menanggapi ancaman terorisme perempuan secara serius, untuk mengetahui penyebab dan motifnya sampai ke akar-akarnya, dan untuk menilai serta mendiagnosis konsekuensi perempuan bergabung dengan kelompok ekstremis, baik karena keyakinan atau paksaan, dan juga akibat-akibat yang ditimbulkan, khususnya bagi anak-anak, baik psikologis, sosial, keamanan dan ekonomi serta cara menghadapinya.
Persoalan peran perempuan dalam pencegahan terorisme menjadi salah satu tema utama yang dibahas dalam diskusi-diskusi para aktivis perempuan beberapa tahun ini, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di dunia internasional, tentang pemberdayaan perempuan, untuk memetakan peran-peran yang dapat dimainkan oleh organisasi-organisasi perempuan, dan diharapkan akan segara terwujud.