Perjalanan Pemikiran Ibnu Rusyd Bagian 1 – Pemikiran apapun, tidak terkecuali filsafat, dalam pembentukannya sangat ditentukan oleh faktor sosial dan ideologi yang melingkupinya. Kondisi sosial dan ideologi yang mempengaruhi al-Ghazali telah membuat dirinya tertuntut untuk memberangus filsafat dengan mengkafirkan para filsuf. Demikian juga faktor yang menjadi pemicu terjadinya perbedaan pemikiran antara al-Ghazali, Ibnu Sina, al-Farabi dan Ibnu Rusyd adalah “payung” sosio-historis dan ideologis yang menaungi masing-masing pemikir.
Di dunia Islam belahan Timur, pemaduan filsafat dan agama sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial waktu itu. Perkembangan peradaban Islam yang begitu pesat, lebih-lebih lagi keberadaan budaya lokal yang sangat hegemonik, membuat kebutuhan akan rasionalitas guna mempercepat laju roda peradaban Islam sudah begitu mendesak.
Terbangunnya rasionalitas hanya bisa diwujudkan dengan upaya penanaman pemikiran filsafat dalam peradaban Islam. Dengan demikian, filsafat yang hadir di dunia Islam belahan Timur merupakan filsafat yang bernuansakan keagamaan; penyatuan antara agama dengan filsafat, penyatuan yang tidak akan tercapai tanpa adanya reduksi, atau bahkan distorsi.
Apa yang terjadi di dunia Islam belahan Timur kiranya tidak sama dengan apa yang terjadi di dunia Islam belahan Barat, di mana filsafat hadir melalui jalur sains. Dunia Islam di Barat (Andalusia, Maroko dan sekitarnya) tidak disibukkan dengan perlawanan terhadap hegemoni budaya lokal yang dapat membahayakan eksistensi akidah.
Tidak ada perpecahan kenegaraan yang mengharuskan dilakukannya pemaduan sistem pemikiran (nizhâm al-fikr) yang sedang bertikai. Tidak ada perang antar aliran yang memaksa dilakukannya takwil terhadap teks-teks agama. Agama dipahami sebagaimana awal kemunculannya. Demikian pula filsafat yang dipelajari tanpa meleburkannya dengan agama; belum ada distorsi dalam agama maupun filsafat. Tidak ada hal apapun yang mengharuskan dilakukannya pemaduan antara agama dan filsafat.
Dari segi politik, negara Islam belahan Barat tidak masuk dalam hegemoni negara Islam belahan Timur. Konfrontasi dinasti Muwahhidin terhadap dinasti Murabithin telah memunculkan “sekat pembatas” antara dunia Barat dan Timur Islam. Keberhasilan Ibnu Tumart mengkudeta dinasti Murabithin telah memaksa dirinya melakukan mobilisasi pengikutnya dengan sebuah ajaran yang ditujukan untuk menghapus bias kesukuan, yaitu melalui pembaharuan keagamaan dengan seruan kembali ke asal dalam berbagai dimensi pemikiran, baik akidah, fikih dan filsafat, dengan cara menghancurkan “taklid buta” di segala bidang.
Dalam bidang akidah, Ibnu Tumart menentang keras pemikiran para ahli kalam yang membangun akidah dengan menggunakan qiyâs al-ghâ`ib ‘alâ al-syâhid, sebab analogi tersebut akan membuahkan indikasi adanya kesamaan antara Tuhan dengan makhluk-Nya.
Sementara dalam bidang fikih, Ibnu Tumart menentang segala bentuk qiyâs yang menyamakan antara al-furû` dengan al-ushûl, ia menyeru untuk mengembalikan segala permasalahan fikih kepada al-Qur`an dan al-Sunnah secara langsung. Adapun dalam bidang filsafat, ia berusaha membebaskan filsafat dari segala bentuk distorsi.
Kondisi perkenalan filsafat semacam itu dan revolusi Ibnu Tumart terhadap semua pemikiran Islam, di samping serangan al-Ghazali terhadap filsafat, merupakan faktor signifikan dalam merangkai dan membingkai perjalanan pemikiran Ibnu Rusyd.[]