2) Sebagai konsekuensi, bangsa Indonesia berada dalam satu ummah dimana menurut Ali Syariati (1995) bahwa ummah itu mengandaikan adanya pemimpin, maka seluruh ummah Indonesia diperintahkan untuk taat kepada pemimpin sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ…..
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu…..”(Qur’an Surat An-Nisa’ ayat 58)
Kehidupan ummah Madinah ketika dipimpin oleh Nabi Muhammad juga menunjukkan bagaimana setiap komunitas di Madinah tunduk kepada Nabi Muhammad. Ketundukan orang-orang selain beragama Islam di Madinah bukan dalam pengertian ketundukan terhadap agama yang dibawah oleh nabi Muhammad melainkan ketundukan kepada Nabi Muhammad sebagai pemimpin tertinggi negara Madinah.
3) Kehidupan damai dan aman juga dapat diwujudukan melalui kesepakatan atau peraturan bersama antar beragam komunitas yang harus ditaati bersama sebagaimana yang dapat dilihat dalam Piagam Madinah. Dalam pasal 25 Piagam Madinah, misalnya berbunyi:
Sesungghnya Yahudi Bani Awf satu umat bersama orang-orang Mukmin, bagi kaum Yahudi agama mereka dan bagi orang muslim agama mereka, termasuk sekutu-sekutu dan diri mereka, kecuali orang-orang yang berlaku dzalim dan berbuat dosa atau berkhianat. Karena sesungguhnya yang demikian hanya akan melecehkan diri dan keluarga.
Dalam konteks kehidupan bernegara di Indonesia, peraturan bersama yang telah disepaati bersama oleh para pendiri bangsa itu adalah Pancasila dan UUD 1945 beserta Undang-Undang dan peraturan lainnya. Dengan adanya peraturan bersama, maka satu kelompok tidak boleh mengusir kelompok lain. Nah, untuk menghasilkan kesepakatan atau peraturan bersama itu maka masing-masing kelompok atau perwakilannya perlu duduk bersama untuk bermusyawarah. Al-Qur’an benar-benar memberi tuntunan yang sangat baik bagaimana berinteraksi dengan kelompok lain yang harus lemah lembut, tidak keras kepala dan memberikan maaf kepada mereka yang bersalah serta mengedepankan musyawarah, sebagaimana yang terangkum dalam Ali Imran 159
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الأمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya
Mengambil keputusan secara bersama-sama dalam suatu ummah belakangan ini disebut sebagai demokrasi. Mengapa demikian, dalam demokrasi, kekuasaan tidak dipegang dan ditentukan oleh satu orang ataupun satu kelompok, melainkan diatur bersama dan untuk kepentingan bersama. Sebagai sebuah sistem, demokrasi tentu memiliki kekurangan dan hambatan-hambatan dalam implementasinya. Tetapi, atas kesepakatan bersama, setiap ummah dapat melakukan revisi terhadap sistem demokrasi, sebagaimana yang pernah terjadi di Indonesia mulai dari demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, demokrasi Pancasila, bahkan di era reformasi ini setiap warga negara memiliki hak suara yang sama untuk menentukan pemimpinnya dalam pesta demokrasi yang bernama Pemilihan Umum.
Baca tulisan pertama: Perspektif Islam Tentang NKRI, Pancasila, Kebhinnekaan (1 dari 3)