Sertifikasi halal di Indonesia selama dilaksanakan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Namun dengan adanya Undang-Undang (UU) Nomor 33 tahun 2014, kini sertifikasi halal itu berpindah tangan dari MUI ke Kementerian Agama (Kemenag) dalam hal ini dilaksanakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Sesuai bunyi UU itu, hanya negara yang berhak menjadi penyelenggara sertifikasi halal, sementara MUI sebagai ormas tidak berhak.
Tidak hanya pindah tangan, dalam proses perpindahan ini, ternyata BPJPH juga mengganti label halal yang selama ini dikeluarkan MUI, menjadi label baru versi Kemenag. Masalah label inilah yang kemudian memicu konflik. Petinggi MUI jelas mengatakan label baru itu sangat jauh dari makna halal. Ia bahkan menyebut label itu tidak mencerminkan ke-Indonesiaan, tapi lebih cenderung hanya mengakomodasi budaya lokal karena label itu seperti Gunungan dalam wayang kulit.
Polemik sertifikasi halal itu mulai mengemuka setelah diposting Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas melalui Instagram @gusyaqut. Dalam postingan itu, Menag menjelaskan bahwa label halal tidak lagi milik Majelis Ulama Indonesia ( MUI ) tapi kewenangan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kemenag. Label halal MUI nantinya tidak berlaku lagi di Indonesia.
BPJPH Kemenag sendiri telah menetapkan bahwa label halal Indonesia berlaku secara nasional per 1 Maret 2022. Hal itu didasarkan Surat Keputusan Kepala BPJPH Nomor 40 Tahun 2022 yang ditetapkan di Jakarta pada 10 Februari 2022. BPJPH menetapkan label halal yang berlaku secara nasional. Penetapan label halal tersebut dituangkan dalam Keputusan Kepala BPJPH Nomor 40 Tahun 2022 tentang Penetapan Label Halal.
Tidak hanya mengumumkan, BPJPH juga mengenalkan label baru halal yang bentuknya jauh berbeda dengan label lama milik MUI.
Bukan Kata Halal Dalam Bahasa Arab, Tapi Seperti Gunungan Wayang
Masalah label halal inilah yang kemudian menyulut polemik. Salah satunya adalah komentar keras Wakil Ketua Umum MUI Anwar Abbas. Ia mengritik desain logo halal yang baru dirilisKemenag. Menurut Anwar, desain logo tersebut tidak mencerminkan ke-Indonesia-an karena bentuknya menyerupai gunungan wayang.
Ia mengaku banyak mendapat masukan dari banyak orang yang menilai logo label haram itu tersebut bukan kata halal dalam tulisan Arab. Melainkan gambar gunungan sebagaimana biasa tampak dalam dunia pewayangan.
Ia pun menegaskan bawah label itu tidak bisa menampilkan apa yang dimaksud dengan kearifan nasional, tapi malah ketarik ke dalam kearifan lokal, karena yang namanya budaya bangsa itu bukan hanya budaya Jawa.
Masih kata Anwar, desain logo tersebut tidak arif karena tidak mencerminkan ke-Indonesia-an yang dijunjung tinggi oleh rakyat Indonesia. Logo tersebut hanya mencerminkan kearifan dari satu suku dan budaya saja. Padahal, negeri ini memiliki ribuan suku dan budaya.
Dengan sedikit menyindir, Anwar mengatakan bahwa kata persatuan dan kesatuan serta kebersamaan itu sangat mudah untuk diucapkan, tetapi ternyata dalam fakta dan realitasnya terlalu sangat susah dan sulit untuk diwujudkan. Entah siapa yang disindir Anwar Abbas.
Legislatif Pun Ikut Bersuara
Kalangan legislatif di Senayan pun ikut bersuara terkait masalah sertifikasi halal, terutama masalah logo halal tersebut. Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad mengatakan polemik logo halal yang baru tak sekadar persoalan label, melainkan juga kewenangan sertifikasi yang kini dikeluarkan oleh Kemenag. Dia meminta Kemenag melakukan komunikasi dengan pihak-pihak terkait secara intens terkait polemik logo halal tersebut.