Yusuf Masyhar, Santri Kiai Chusen yang Cemerlang
Desa Jenu yang terletak di pinggiran pantai utara Jawa, memiliki nilai historitas islamisasi yang kaya. Beberapa sumber juga menyebutkan Desa Jenu pernah disinggahi Syekh Subakir dalam misi “menumbali tanah Jawa”. Adapun sekarang bisa ditemui petilasannya di Desa Tasikharjo.
Di Jenu, Kiai Chusen mulai membangun rumah untuk tempat tinggal. Selain itu ia juga membangun rumah panggung terbuat dari kayu sebagai tempat mengaji anak-anak sekitarnya. Dari bangunan sederhana ini, Kiai Chusen dengan keistiqomahannya dapat mencetak generasi qur’ani, yang tidak hanya membaca dan menghafal, namun mengaplikasikan di kehidupan sehari-hari.
Sayang sejuta sayang, rumah panggung yang bersejarah tersebut kini tak bersisa. Hal ini diakibatkan dampak konstruksi perluasan Jalur Pantai Utara Jawa (Pantura) pada era Gubernur Hindia Belanda, Daendels, yang terbentang dari Anyer sampai Panarukan.
Salah satu murid Kiai Chusen adalah Kiai Yusuf Masyhar. Seorang pemuda asal Desa Kaliuntu. Jarak Kaliuntu – Jenu tidak begitu jauh. Kiai Yusuf Masyhar merupakan putra ketiga dari pasangan Masyhar dan Masruhan. Kiai Yusuf Masyhar mampu menyelesaikan hafalan Alquran di hadapan Kiai Chusen. Lalu, ia melanjutkan pengembaraan ilmu ke Pesantren Tebuireng, Jombang, yang ketika itu masih diasuh oleh Hadratu as-Syekh KH. Hasyim Asy’ari.
Selama mondok di Tebuireng, Yusuf muda memiliki keistimewaan diantara para santri lainnya. Ia dianugerahi kemerduan suara dan hafalan Alquran. Sehingga Kiai Hasyim Asy’ari sangat menyayangi Kiai Yusuf. Bahkan, ia diamanahi oleh Kiai Hasyim menjadi imam shalat berjama’ah, khususnya bulan Ramadan.
Dalam perjalanan kehidupannya, santri Tuban ini dijodohkan dengan Nyai Ruqayyah, cucu Kiai Hasyim Asy’ari. Nyai Ruqayyah adalah putri dari KH. Ahmad Baidhowi Asro dan Nyai Hj. Aisyah. Selain perjodohan tersebut, pada tanggal 15 Desember 1971, Kiai Yusuf Masyhar mendirikan Madrasatul Quran sebagai tempat penggemblengan para calon ahli Alquran.
Mendirikan NU Tuban
Tidak hanya mengasuh pesantren, Kiai Chusen juga aktif dalam Nahdlatul Ulama (NU). Menurut beberapa sumber, beliau tercatat sebagai salah satu pendiri NU Tuban pada tahun 1935 M.
Sumber juga menyebutkan bahwa awal berdirinya NU tidak di tengah-tengah kota Tuban, melainkan di Kaliuntu-Jenu. Hal ini disebabkan ulama-ulama Tuban saat itu masih menghormati sosok KH. Murtadlo (Pengasuh PP. Ash-Shomadiyah). Ulama sepuh satu generasi dengan KH. Hasyim Asy’ari ini mempunyai prinsip dakwah Islam yang teguh. Asumsi beliau adalah dakwah Islam tidak harus melalui sebuah organisasi, tetapi cukup lewat pengajian.
Barulah kemudian sekitar tahun 1935, beberapa santri jaringan alumni Tebuireng di Kecamatan Jenu mendirikan NU cabang Jenu. Mengutip dari laman NU Online, muncul anekdot singkatan Jenu adalah dari kalimat “Jelas NU”.
Baca Juga:
Keragaman dan Daya Hidup NU
Menjadi pengurus di periode awal, Kiai Chusen menjabat sebagai Rais Syuriah, dengan Rais Tanfidziyah-nya adalah Kiai Umar Faruq. Ada beberapa alasan mengapa NU Tuban awal berdiri di Jenu. Pertama, Kecamatan Jenu sudah lama menjadi kawasan santri. Terbukti begitu banyak pesantren yang telah berdiri di wilayah barat Tuban ini. Kedua, hubungan Kiai-Santri yang masih terikat emosional sehingga jaringan alumni merupakan suatu keniscayaan.
Ada kisah menarik saat beliau menjadi pengurus NU. Ia hampir tidak pernah absen untuk hadir dalam perhelatan Muktamar NU. Ia bersama Kiai Dimyati, Kaliuntu, sampai rela berboncengan dengan sepeda ke arena Muktamar.