“Kalau negara ini chaos, maka mereka akan bilang ‘inilah bukti bahwa Pancasila gagal dan tidak relevan lagi bagi bangsa Indonesia, negara ini gagal, maka gantilah Pancasila ke system khilafah, karena terbukti bangsa ini pecah, maka ayo ganti ke system agama’, Tentunya hal itu yang menjadi tujuan mereka,” jelasnya.
Tidak hanya itu, kondisi adu domba dan polarisasi yang semakin parah ditengah masyarakat Indonesia yang beragam. Ini juga menjadi kekhawatiran tersendiri bagi masyarakat tentang bangkitnya gerakan-gerakan terror menjelang tahun politik 2024, yang belakangan ini kelompok teror seperti sudah samar terdengar keberadannya bagi masyarakat.
“Kalau tindak terorisme sekarang ini sebenarnya sudah dalam tahap minimal, karena kelompok ini di Timur Tengah sudah tidak punya basis dan wilayah serta tidak ada perintah serta fatwa untuk membuat teror. Tapi kelompok ini paham bahwa kalau mereka membuat teror maka masyarakat akan antipati, maka dari itu mereka mengubah startegi menjadi strategi soft,” terang Ridlwan.
Strategi soft atau halus yang dimaksud yaitu dengan cara konvoi, membagikan selebaran, membuat acara menarik yang tidak menakutkan, tetapi tetap dengan tujuan yang sebenarnya yaitu untuk mengganti ideologi bangsa. Sehingga mereka telah memahami bahwa metode menyerang rumah ibadah atau melakukan pengeboman bukan lagi metode yang efektif, justru masyarkat akan jengkel dan sulit bagi mereka mencapai tujuannya.
Ridlwan mewanti-wanti masyarakat khususnya aktor politik nasional untuk tidak mudah terpancing dengan narasi negatif yang diumpankan oleh sebagian oknum berkepentingan. Termasuk narasi khilafah yang dewasa ini ramai diperbincangkan. Mereka juga harus bijaksana dalam membalas isu dan narasi yang dikeluarkan oleh kelompok radikal.
“Tidak perlu lah kita menciptakan musuh sendiri, kecuali ketika mereka melakukan manuver, barulah direspon. Kalau tidak bermanuver kan semakin baik, apalagi kelompok radikal ini mau berdemokrasi dan berkompetisi itu kan semakin baik bagi Indonesia,” tutur Ridlwan.
Ridlwan juga berharap para aktor politik dan para pendukungnya mampu mengubah cara kompetisinya dengan mengesampingkan politik identitas yang negatif dan mulai mengedepankan kualitas program, prestasi dan visi misinya untuk kemajuan Indonesia.
“Kalau mau makin baik, maka bicaralah tentang program, tentang prestasi, jangan melulu tentang isu agama. Kalau tetap seperti itu maka 2024 akan terjadi politik identitas lagi. Ayo kita kembali bermain fair saja, tinggalkan narasi politik identitas negatif kepada program dan prestasi,” kata Ridlwan Habib.