Pada masa Kerajaan Mataram sekitar tahun 1582 M, perayaan Maulid Nabi diubah menjadi perayaan yang disebut Grebeg Maulud. Dalam perayaan ini, Sultan bersama para pejabat kerajaan akan melakukan prosesi dari keraton menuju Masjid Agung untuk merayakan Maulid Nabi. Prosesi ini disertai dengan upacara nasi gunungan, yang kemudian dibagikan kepada masyarakat sebagai bentuk syukur dan kebersamaan.
Ragam Tradisi Maulid di Berbagai Daerah
Hingga saat ini, perayaan Maulid Nabi masih berlangsung di berbagai wilayah Indonesia dengan cara yang berbeda-beda. Di Jawa, misalnya, masyarakat merayakan Maulid dengan membaca kitab-kitab pujian kepada Nabi seperti Al-Barzanji, Simtud Dhurar, Diba’, dan Burdah. Setelah pembacaan manakib, biasanya acara dilanjutkan dengan makan bersama sebagai simbol kebersamaan dan keberkahan.
Di Sulawesi Selatan, perayaan Maulid Nabi dikenal dengan nama Maudu Lampoa, di mana masyarakat mengarak replika perahu Pinisi yang dihiasi kain berwarna-warni dan sarung tradisional. Prosesi ini diiringi oleh musik dan lantunan shalawat, yang menambah semarak suasana perayaan. Ini adalah contoh bagaimana perayaan Maulid Nabi di Nusantara menggabungkan ajaran agama dengan budaya lokal secara harmonis.
Islam dan Budaya Lokal: Sebuah Kesatuan Harmonis
Sejarah perayaan Maulid Nabi di Indonesia menunjukkan betapa fleksibelnya Islam dalam berinteraksi dengan budaya lokal. Melalui perayaan ini, kita melihat bagaimana ajaran Islam dapat diterima dan diintegrasikan ke dalam kehidupan masyarakat dengan cara yang selaras dengan tradisi dan nilai-nilai lokal.
Perayaan Maulid Nabi di Nusantara tidak hanya mempererat kecintaan umat Islam kepada Rasulullah SAW, tetapi juga memperkuat ikatan sosial antar masyarakat. Ini adalah bukti bahwa Islam dapat beradaptasi dan berkembang bersama budaya lokal tanpa menghilangkan inti ajaran agamanya. Maulid Nabi adalah cerminan dari bagaimana agama dan budaya dapat hidup berdampingan secara harmonis, menciptakan sebuah warisan yang kaya dan penuh makna bagi generasi selanjutnya.